Sunday, December 31, 2006


Horeeee.... Tahun Baru Lagi.... !!!


Semalam saya merayakan tahun baru dengan melakukan tugas sebagai Chief Happiness Officer untuk sebuah produk atau brand. Tugasnya lebih banyak sebagai greater dan hahahihi saja. Ya.... namanya juga bertugas, maka saat detik-detik pergantian tahun saya lalui dengan teman-teman kerja. Gak ada yang istimewa. Biasa-biasa saja.

Ingatan saya justru melayang ke beberapa acara tahun baru yang pernah saya lakukan. Yang paling saya ingat adalah ketika merayakan acara tahun baru bersama keluarga di rumah besar kami di Bengkuang No. 29, Padang. Kami beradik kakak berjumlah 8 orang. Beda usia kakak tertua dan yang bungsu sekitar 12 tahun. Jadi, kami dibesarkan hampir serentak. Belum lagi ada beberapa saudara yang tinggal di rumah kami. Malam tahun baru itu (lupa persisnya) kami rayakan ber 13 orang dengan duduk membentuk lingkaran besar dan mulai bermain kartu. Entah apa nama permainannya, tapi pemain yang kalah akan mendapatkan coretan tak terputus di wajahnya. Yang berhak mencoret adalah pemain yang menang. Coretan menggunakan lipstik merah, eyes shadow hijau atau bedak putih, boleh pilih salah satu. Diakhir acara akan terpilih seorang raja atau ratu, yaitu yang wajahnya paling hancur karena banyak coretan.

Permainan itu dimulai sekitar jam 11 malam. Tepat jam 00.00 WIB, kami terus asyik bermain hingga jam 1-an. Jadi, detik-detik pergantian tahun dilewati biasa-biasa saja. Sama seperti pergantian hari dari Senin ke Selasa saja layaknya.

Prosesi count down alias hitung mundur, saya alami waktu masih bekerja di radio Suara Sakti, Semarang. Malam tahun baru kami mengundang bintang tamu dari ibukota, yaitu Hedi Yunus dan tahun berikutnya Yuni Shara. Cuma karena bertugas, saya gak merasakan apapun. Lebih kurang sama seperti ngadain event atau show artis biasa.

Yang agak beda justru ketika malam pergantian tahun 2003 - 2004. Waktu itu, saya ke Mesjid Raya Pondok Indah bersama teman baik saya Iwan. Malam itu ada dzikir bersama Ustad Arifin Ilham. Pengunjung disarankan menggunakan pakaian putih-putih, termasuk saya. Beberapa saat sebelum jam 00.00 WIB, dzikir dan doa sudah dipanjatkan. Banyak yang meneteskan air mata, banyak juga yang tersedu-sedu. Tepat jam 00.00 WIB, sang ustad mengajak semua jamaah untuk sujud syukur. Tak terasa, air mata membasahi sajadah sujud saya. Begitu banyak doa dan harapan saya panjatkan. Masa bodo dengan bunyi petasan dan kembang api di kejauhan. Saya cuek saja dengan bunyi terompet dan klakson kendaraan dari jalan raya. Saya berusaha berkonsentrasi saja.

Selesai acara di Mesjid itu, saya dan Iwan berencana pulang. Tapi perut lapar. Kami menelepon teman baik kami yang lain, Rio dan Pram, yang kebetulan ada di Citos. Akhirnya kami menuju Citos dan saya saltum alias salah kostum. Rupanya malam itu Citos sedang ada acara Street Carnival. Banyak orang-orang yang berkostum ala Brazilian berseliweran dan saya tetap dengan baju koko putih. Hm.... cuek saja lah. Saya lapar hehehe....

Dan tadi malam, saya berkesimpulan bahwa bagi saya, malam tahun baru tak ubahnya seperti malam pergantian hari biasa. Banyak orang membuat resolusi atau rencana. Tapi menurut saya, tidak harus malam tahun baru khan? Kalau emang mau berubah, lakukan sekarang. Segera laksanakan. Tak usah menungu pergantian tahun apabila semua rencana, niat dan harapan itu bagus adanya.

Tapi bagaimanapun juga, saya tetap mengucapkan Selamat Tahun Baru 2007. Semoga kehidupan kita akan jadi lebih baik di tahun ini. Maju terus dan Jaya selalu. Amin.

Monday, December 25, 2006

Ragam Pengamen

Setiap hari naik bis kota menuju arah Blok M membuat saya sering bertemu dengan para pengamen. Kadang terganggu, kadang terhibur, kadang dicuekin dan tetap tertidur. Tidak banyak yang bagus dan serius bernyanyi. Lebih banyak yang sebelas dua belas (alias sami mawon) dengan pengemis. Kalau pengamennya anak-anak di bawah umur, baik lelaki maupun perempuan, yang timbul adalah rasa kasihan terhadap masa depan mereka.

Tapi kalau yang ngamen sudah dewasa atau usia produktif, nah inilah yang saya bilang beda tipis sama pengemis. Badan sehat, tenaga kuat seharusnya mereka bisa bekerja yang lain. Dan menurut saya, ngamen bukanlah pekerjaan. Walau mereka sering menyebutkan diri mereka "seniman jalanan", tapi itu bagi saya cuma sekedar istilah agar mereka lebih dihargai. Padahal belum ada karya mereka yang bisa dinikmati dan bermanfaat bagi orang lain. (sebagai seniman, tentu harus ada karya seni yang mereka ciptakan)

Satu atau dua pengamen memang cukup menghibur. Tapi saya belum bisa mengapresiasi mereka sebagai penghibur. Tapi sudah lah..... Yang mau saya bagi kali ini adalah beberapa pengamen yang saya jepret dalam beberapa hari terakhir. Here we go... halah!


Kalo yang ini, nyanyinya lumayan. Suara serta pilihan lagunya oke. Secara keseluruhan not bad lah. Tapi dengan badan sebesar itu, selayaknya dia bisa kerja yang lebih baik.

Duet yang berikut ini memainkan lagu-lagu religi Islamsecara medley. Ada lagu "Jagalah Hati" (jangan suka horny... hehehe) dari AaGym, juga "Tombo Ati" milik Opick(Opick bikin Dealove juga bagus banget yak Two Thumbs Up), serta juga lagu "Perdamaian" yang aslinya gambus abis, tetapi menjadi pop rock keren oleh Gigi Band.


Pengamen yang ini terbilang kreatif. Dia selalu menggunakan kalimat pembuka dan memperkenalkan lagunya satu per satu, yang katanya lagu-lagu itu diciptakan sendiri. Tetapi, jujur saja, antara lagu satu dan lagu lainnya sama sekali tidak ada bedanya kecuali liriknya. Grip atau kunci gitarnya cuma 2, yaitu kunci G dan F. Lalu cara genjreng gitarnya juga sama, seperti ketukan reggae tapi kok mirip juga sama lagunya Benyamin S (Eh ujan gerimis aje... gitu lah).


Sering kali pengamen bernyanyi dengan kunci nada dasar yang tidak pas. Bagi saya ini ajaib sekali. Secara ketukan, tempo, kunci gitar, bahkan tanda masuknya lagu semua pas. Rasanya dia belajar dengan seseorang yang lebih jago. Bisa jadi iya, karena pengamen itu ada wadahnya juga. Tapi, menyanyi dengan kunci nada yang ketinggian atau kerendahan bagi saya adalah sebuah kebodohan, apalagi harus bernyanyi di depan umum dan ingin mendapatkan uang pula. Pengamen yang ini melakukan itu. Nada dasarnya ketinggian ketika membawakan sebuah lagu milik Ungu. Ketika refrain lagu "Maaf kan aku, menduakan cintamu... dst..." yang memang cukup tinggi nadanya, yang dilakukan pengamen ini adalah menegakkan badannya dan memanjangkan lehernya. Mungkin dia berharap bisa ikutan tinggi suaranya. Mirip ayam jago berkokok hehehe...

Pengamen yang paling jago menurut saya apabila bisa memainkan alat musik yang tidak biasa. Kalau gitar, itu mah biasa. Apalagi kalo cuma bawa tutup limun atau tutup botolyang dikecrek-kecrek doang. Gak kreatif. Parahnya lagi, banyak juga yang modal tepuk tangan. Aduh.... Kalau seandainya mau kreatif dikit, tepuk tangan juga seru. Tapi kalau badan gede, suara cukup kuat, mbok ya jangan modal tepuk tangan dong. Belajar gitar kek, kencrung kek. Atau belajar suling? Hebatnya lagi ada yang ngamen pake biola. Yahud banget. Lagunya My Heart Will Go On pula.... Main biola itu gak gampang. Tapi pengamen ini jago. Jadi ikhlas aja kalo ngasih.

Diantara pengamen-pengamen yang saya temui di atas bis kota Patas AC 34 ataupun AJA 138, inilah yang paling TOP. Dia selalu membawakan lagu-lagu Rhoma Irama. Iringannya bukan gitar, bukan kecrekan, apalagi tepuk tangan. Pengamen ini cukup bermodal. Dia membawa kaset minus one, sound system sendiri lengkap dengan microphone tanpa kabel. Hebat. Suaranya gak jelek-jelek amat. Sengau dan cengkok yang menjadi ciri khas dangdut bisa dilakukan dengan baik. Satu hal lagi yang aku salut, dia menyapa penonton sama seperti Bang Haji Rhoma Irama menyapa penggemarnya. Saya yakin,dia emang penggemar berat si Raja Dangdut itu. Bahkan jambang nya pun mirip.Liat aja fotonya :)









Sunday, December 17, 2006


Hey, jangan pipis sembarangan....
Dulu banget, ada lagu anak-anak yang punya lirik seperti itu. Sayangnya saya lupa lagu siapa dan juga lupa terusannya. Tapi, saya yakin banyak orang yang harus mendapat teguran seperti itu. Gak cuma anak-anak, tapi juga orang dewasa , khususnya kaum pria.

Kadangkala, hasrat buat berkemih memang tidak bisa ditahan. Banyak yang crooottt..... di sembarang tempat. Pingir jalan raya atau jalan tol, sering sekali terlihat pemandangan dimana orang buka pintu mobil, lalu seeerrrrr..... asyiiikk.... lega..... hehehe. Pojok-pojok gedung atau ujung jalan sering bau pesing. Heran deh.... gak enak banget.

Tulisan "Dilarang kencing di sini" sangat banyak dan mudah ditemukan. Versinya banyak. Ada yang kasar, keras, ada juga yang nyeleneh. Beberapa diantara terekam pada gambar di bawah ini.

Kalau teman-teman pernah melihat peringatan serupa tapi dengan kata-kata yang 'gak umum', silakan dipotret dan kirim ke saya di sebelas4.yahoo.co.id. Ntar saya tambahin di blog ini hehehe...



Friday, December 08, 2006


DIBUANG SAYANG


Libur Lebaran kemaren, saya sempat berkunjung ke Bukittinggi, ke rumah kerabat. Bukan di tengah kota, tetapi agak pelosok, kira-kira 30 menit ke arah Payahkumbuh. Tradisi di sana adalah perayaan Khatam Quran yang dilaksanakan setelah Hari Raya. Kampung itu berhias dengan marawa atau umbul-umbul yang berwarna merah, kuning dan hitam.
3 warna itu konon melambangkan 3 tungku sajaranganan alias 3 tokoh pemersatu suku di kampung, yaitu alim, ulama dan cerdik pandai. Tetapi, keponakan saya Fali berteriak lantang,"Wah, banyak penggemar bola Jerman ya di sini. Kok banyak benderanya?" Duh.... dia lebih kenal warna bendera asing daripada warna tradisi kampungnya.

Pistol maninan adalah salah satu mainan favorit yang paling banyak dibeli oleh anak-anak sepanjang lebaran. Mereka menentengnya kemana-mana, termasuk ketika mereka berramai-ramai menaiki truk menuju ke luar kota. Di depan mobil kami yang membawa saya dan keluarga besar menuju daerah Matur untuk melihat Danau Maninjau, saya menemukan "perang saudara" antara penumpang truk dan penduduk yang wilayahnya dilintasi oleh pendatang-pendatang berpistol.
Lihat gaya meraka. Piiissss mannnn.....



Yang ini adalah foto-foto di Bukittinggi. Mau cari apa di sana? Makanan tradisional? Banyak... tuh, dalam bungkusan plastik besar atau kecil di pajang meriah berjajar di daerah Pasar Atas. (lihat foto atas kiri)

Mau bordiran untuk baju muslim? Jangan tanya lagi. Tidak satu dua toko yang menjualnya, tapi bejibun. Segala warna ada. Bejikuhibiniu aja kalah banyak.Mau yang dijual di toko atau yang ditengah pasar, semua sama menariknya. (lihat foto atas tengah)

Sate padang? No... ini Sate Bukittinggi. Dagingnya berbumbu seperti ada serundengnya. Lebih guring dan renyah (lihat foto atas kanan). Kuahnya kuning, bukan merah. Kuah merah bisanya Sate Pariaman. Ada lagi sate Danguang-danguang yang dagingnya besar-besar. Sate bumbu kacang juga ada. Banyak rupanya jenis sate padang ini.


Kota Padang terletak di daerah pesisir. banyak pantai-pantai indah di sana. Sebut saja Pantai Air Manis yang menjadi tempat legenda Malin Kundang.dengan 3 mobil, kami berangkat ke pantai itu yang berjarak 1 jam dari rumah. Sengaja berangkatnya menjelang sore, sekalian bisa melihat sunset di sana. Anak-anak yang mau berenang juga tidak menjadi terlalu gosong kalau berangkatnya agak sore. Ternyata, matahari tertutup asap. Ya, asap, bukan awan. Hari Raya kemaren, kebakaran hutan memang sedang seru-serunya di daerah Riau dan Jambi. Imbasnya ke Padang. Matahari terlihat malu-malu.


Dan ternyata, Ibu saya yang tahun 2006 ini berusia 76 tahun, baru kali itulah pergi ke Pantai legenda Air Manis. "Yang mana sih, batu Malin Kundang itu?" tanya Ibu saya ketika turun mobil. Padahal, di pantai itu, kakak saya yang nomor 2, pernah menari untuk acara di TVRI pada tahun 80an. Padahal lagi, di tahun 80an juga, saya pernah mendapat musibah di pantai itu. Ketika itu, entah binatang apa melilitkan lendirnya ke kaki saya dan mendadak sontak saya seperti terkena aliran listrik ketika bermain di air pasang, diantara Pulau Angso Duo dan pantai. Alhasil, saya harus segera mendapat pertolongan pertama. Penduduk setempat mengatakan, obatnya adalah urine alias air kencing. Dan.... kaki saya dikencingin oleh guru matematika, bernama Pak Yus. Alamak !!!!

Satu lagi pantai terkenal adalah Teluk Bayur. Sejak lama, bahkan sejak jaman Belanda, Teluk Bayur sudah menjadi pelabuhan kapal penting di tanah air. Bukan karena penting lalu Ernie Djohan mempopulerkan lahu dengan judul saya "Teluk Bayur". Tetapi rasanya pelabuhan itu memang indah dan saat lagu itu popuiler tahun 70an (atau 60an ya?), Teluk Bayur menjadi saksi tangisan dan lambaian perpisahan siapa saja yang akan menuju ke Jawa (baca : Jakarta), entah untuk melanjutkan sekolah, cari kerja, merantau ataupun sekedar piknik. Dan menyambut Hari Raya kemaren, saya (bersama Fathya dan Fali) juga sempat ke Teluk Bayur, menjemput Adik saya dan keluarga yang pulang lewat laut.

Yang ini adalah foto yang ada di dinding rumah kami di Padang. Saya jepret ulang lagi. Ini adalah salah satu dari sekian banyakj foto Ayah dan Ibu saya tercinta. Tak mungkin diulang adegan serupa, karena Ayah saya sudah berpulang tahun 2003 lalu.Ketika masih di bangsu SD, saya bangga dan senang sekali apabila rapor saya dijemput oleh Ibu saya. Waktu SD saya tidak pernah menjadi juara kelas, tapi 5 besar atau 10 besar alhamdulillah selalu di tangan. Ceileee.... Uhuy! Yang menbuat saya bangga bukan karena rapor saya, tetapi karena Ibu saya selalu terlihat cantik, anggun dan kharismatik. Paling TOP lah diantara ibu-ibu lain hehehe....
Jadi ingat pantun yang ada dalam sebuah lagu :

Pohon tebu dibilang manis
Yang lebih manis tebu di paya
Banyak ibu dibilang manis
Yang paling manis tentu Ibu saya


Setiap kali jepret, ada saja suara yang berbisik,"Semoga beliau tahu, aku sayang dan bangga."
I LOVE U MOM

Friday, December 01, 2006


Donor Darah

Dengan tinggi tubuh 181 cm, saya ingin sekali memiliki berat badan yang berimbang. Susah sekali menambah berat badan ini. Gak segampang menambah dosa (halah!). Kalau sekarang saya sering ke gym, itu lebih karena ingin menambah kebugaran dan daya tahan, bukan untuk membentuk tubuh apalagi menguruskan badan. Menjadi kurus mah, gampang banget. Demam 1 hari aja, saya bisa turun berat 3 kg.
Kalau diperhatikan, porsi makan saya lumayan banyak lho. Tapi memang, saya tidak terlalu sering ngemil. Ditambah lagi dengan faktor U (iya iya.... UMUR. Puas?) maka makanan yang masuk lebih dulu menumpuk dan menggembil di sekitar perut daripada merata di sekujur badan.

Permasalahan berat badan ini sudah menjadi cerita sejak lama. Saya ingat, tahun 1999 ketika pertama kali mendonorkan darah di Rumah Sakit Siloam Gleaneagle. Dengan bentuk badan yang cungkring di kala itu, kira-kira bisa jadi donor gak ya? Waktu itu sempat bimbang dan ragu, takut semaput. Ntar malah jadi bahan tertawaan. Gak lucu banget khan? Tapi, saya nekad aja. Toh sebelum diambil darah, semua pendonor akan ditimbang berat badannya, diukur tensinya dan dilihat juga kadar HB nya. Pastinya, pihak PMI (Palang Merah Indonesia) tidak mau ambil resiko dengan nyoblos orang yang tak layak donor.

Deg-degan juga waktu itu. Perawat yang ngukur tensi ikut ngeledek.
Katanya,"Deg-degan kenapa, Mas?"
Jawab saya,"Pengalaman pertama, Mbak."
Perawat melanjutkan,"Tenang aja. Kaya digigit semut kok."
Dalam hati saya ngedumel, iya kalau semutnya se upil. Kalau semutnya segede alat suntik, dan taringnya segede jarum suntik, ya sakit juga.


Tensi bagus, HB bagus dan berat badan juga dianggap cukup. Alhamdulillah. Proses selanjutnya menunggu giliran.

Pas giliran saya ambil darah, busyet, banyak juga ya. Katanya 250 cc alias 1/4 liter. Langsung terbayang botol Aqua 1 liter yang besar. Dan darah saya diambil seperempat botolnya. Dan ngalirnya cepet banget, deras. Mungkin karena saya ded-degan, jadi jantung memompa lebih cepat. Saya jadi lupa, sakit atau gak ya waktu di tusuk jarum suntik di urat nadi itu ya? Sungguh, terlupakan karena saya lebih berpikir,"Pusing gak ya... pusing gak ya?"

Setelah jarum ditarik dari lengan, proses selesai dan saya gak pusing. Tetapi pada saat mau berubah posisi dari berbaring ke duduk, saya lakukan pelan-pelan. Benar-benar 'handle with care' lah badan ini. Takut tumbang. Setelah duduk, ternyata aman. Selanjutnya, turun tempat tidur, berjalan. Selangkah, dua langkah, tiga langkah, lalu berpikir lagi,"Pusing gak ya... pusing gak ya? Tumbang gak ya? Gubrak gak ya?" Ternyata gak tuh.... Lanjut jalan, menuju ke meja tempat konsumsi. Segelas susu coklat bikin badan ini enak dan Alhamdulillah, lancar. Saya tidak menjadi bahan tertawaan. Selamat !
Sejak saat itu, saya tidak ragu lagi menjadi pendonor darah. Lebih senang lagi, sejak saat itu, saya jadi yakin bahwa berat badan saya normal-normal saja kok. Saya gak kurus dan gak cungkring seperti yang saya khawatirkan. Lebih hebat lagi, berat badan saya justru nambah setelah donor darah itu. Jika dulu dulu berat badan saya 67 atau 68 kg saat pertama donor di tahun 1999, maka setelah 10 kali menjadi pendonor, berat badan saya naik antara 6 - 7 kg, menjadi 73 kg dengan tinggi badan tetap 181 cm. Dan perubahan itu terjadi dalam kurun 7 tahun !!!

Wakakakakkkk... gak jadi hebat! Batal hebat!
Ya ya ya... saya manusia biasa, bukan manusia hebat, bukan orang super. Just an ordinary guy. Semua orang bisa menyumbangkan darahnya untuk menyelamatkan orang lain. Jika materi dan harta tidak berlebihan, jika tenaga sudah terkuras untuk kerja dan keluarga, maka darah kita juga bisa dijadikan sedekah untuk membantu meringankan beban orang lain. Insya Allah, pahalanya dihitung sama Allah. Insya Allah hiduppun akan menjadi lebih bergairah karena darah yang sudah diambil akan segera diganti dengan darah baru yang lebih segar. Ayo, donor darah lagi :)








Thursday, November 09, 2006

Susahnya Memulai Bisnis di Indonesia
(Hasil temuan di warnet hehehe....)

Akhir-akhir ini saya sering berpikir untuk melakukan suatu bisnis yang mampu mendatangkan tambahan penghasilan sekaligus menjadi 'ladang' di hari tua kelak. Macam-macam bisnis sering terlintas di kepala. Mulai dari punya Event Organizer atau Wedding Organizer sendiri, punya Souvenir Shop di kampung halaman, Barber Shop atau punya Coffee Shop, Indomart atau Alfamart (waralaba gitu deh) dan lain-lain. Pikiran semacam itu tidak pernah saya patahkan. Malah terus saya pelihara walaupun tidak atau belum pernah berusaha serius untuk memulainya.



Tanpa sengaja, beberapa waktu lalu, saya menemukan sebuah tulisan dari seseorang yang masih tertinggal di komputer yang akan saya gunakan, di sebuah warnet. Artikel itu menarik sekali. Judulnya "Memulai Usaha di Indonesia". Saya baca artikel itu dan saya kaget dengan tulisan yang saya baca. Ternyata ada 12 tahap yang harus dilalui agar sebuah bisnis bisa terdaftar dan bisa diakui secara legal.

"... diantaranya mendaftarkan perusahaan ke Departemen Kehakiman, mendaftarkan domisili perusahaan ke Kelurahan, mengurus Nomor Pokok Wajib pajak (NPWP), mengurus Tanda Daftar Perusahaan (TDP) serta Surat Ijin Mendirikan Usaha (SIUP) di Dinas Perdagangan. Prosedur yang dilakukan di Departemen Kehakiman dilakukan oleh Notaris. Sedangkan untuk mendapatkan NPWP, TDP dan SIUP dapat dilakukan oleh pengusaha sendiri atau menggunakan biro jasa." Begitu kutipan tulisan yang saya baca tanpa sengaja itu.

Lalu saya menemukan tabel yang membuat saya bertambah kaget. Tabel itu menggambarkan waktu yang diperlukan jika seseorang ingin memulai sebuah bisnis di berbagai negara. Di Australia hanya dibutuhkan waktu 2 hari saja. Ibaratnya, hari Senin mulai di urus, Rabu udah bisa jalan tuh bisnis. Hm..... cepet banget ya. Lebih cepet daripada nyuciin baju di laundry!. Menyenangkan sekali. Kalau di negara tetangga kita Singapura, butuh waktu 6 hari. Malaysia? 22 hari alias 3 minggu lebih dikit. Kira-kira sama dengan waktu untuk ngejahitin baju di tukang jahit hehehhe. Negara tetangga yang baru berdiri, yang infra strukturnya banyak dibuat oleh orang Indonesia, alias negara Timor Leste, membutuhkan waktu 98 hari untuk memulai sebuah usaha.

Lalu Indonesia, berapa lama ya? Ok.... sit down please, relax and read carefully.

Untuk melaku
kan 12 tahap prosedur yang teklah dijelaskan di atas tadi, menurut penelitian yang dilakukan oleh Worl Bank, adalah....... Seratus Lima Puluh Satu alias 151 hari (waktu kalender).



Data selengkapnya begini :

Australia 2 hari
Singapura 6 hari

Hongkong 11 hari

Malaysia 22 hari
Korea 30 hari
Thailand 33 hari
Philipina 48 hari
China 48 hari
Taiwan 48 hari
Vietnam 50 hari
Kamboja 92 hari
Timor Leste 98 hari
Indonesia 151 hari
Laos 192 hari

Tapi, masih menurut tulisan tak sengaja terbaca dan menggugah itu, LPEM UI memiliki temuan penelitian yang berbeda dengan World Bank. Menurut LPEM UI, waktu yang diperlukan untuk untuk memperoleh ijin usaha di Indonesia adalah 80 hari kalender atau 57 hari kerja. Kalaupun survey LPEM UI ini benar, tetap saja masih lebih lama dibanding di negara ASEAN lain.
Australia memang paling TOP lah, 2 hari saja. Hebat.

Sekalipun temuan itu mengernyitkan dahi cukup lama, dan membuat kerut-kerut di jidat semakin bertambah tegas, tapi niat saya tidak akan surut untuk melakukan bisnis untuk menambah pendapatan. Bukankah sudah tidak musim ketika seseorang masih menganut paham Single Income? Hayo, berbisnis....

Sunday, November 05, 2006

Aku Orang Jawa

Mudik lebaran ke kampung halaman di Padang (Sumatera Barat), kami sekeluarga singgah ke rumah Padang Panjang, tempat ayah saya dibesarkan. Rumah tua itu masih seperti dulu. Asri dan tinggi. Setelah bersilaturahmi dengan Tante Ida dan Uni Eka yang saat ini tinggal di sana, kami pamit untuk meneruskan perjalanan menuju Bukittinggi. Seperti biasa, saya senang berkeliling di rumah tua itu, seperti napak tilas bekas telapak kaki ayah saya di jaman beliau muda dulu. Masuk sampai ke belakang, dapur dan kamar depan yang kebetulan pintunya terbuka. Sebuah foto tua tergantung di kamar depan. Rupanya itu foto kakek ayah saya. Uni Eka bilang, "Itu Raden Wardiman, kakek buyut kita. Kita khan ada keturunan Jawa. Dari Keraton Jogja lho."

Lalu Uni Eka bercerita dengan serius, dan sejenak kami menunda keberangkatan kami. Inti ceritanya begini :

Ketika Perang Diponegoro bergejolak, banyak sekali pejuang-pejuang tanah jawa yang dibuang ke pantai barat Sumatera. Konon diantaranya adalah Sentot Alibasah Prawirodirjo. Nah, beliau ditugaskan di daerah Padang Panjang untuk membangun jalur kereta api. Sentot ini menikah dengan wanita setempat, yang kemudian melahirkan Ibu dari Ayahku, yaitu Nenekku yang bernama Sawiyah.

"Jadi, kalau kita ke Jawa, kita dianggap anak raja lho. Mereka akan jalan duduk dan sungkem sama kita," lanjut Uni Eka berapi-api.

"Oooo....," cuma itu yang keluar dari mulut kami. Seperti paduan suara.
"Iya. Kita juga masih bersaudara sama Umar Khayam," si Uni masih bersemangat bercerita.

"Kok bisa? Ceritanya bagaimana?"
"Keluarga Sentot khan tidak semuanya dibuang ke Sumatera. Ada juga yang tinggal di jawa. Nah, yang tinggal itu adalah kerabatnya Umar Khayam."
"Wah, kita keluarga hebat ya."
"Ada lagi. Gak cuma itu. Christine Hakim tau khan?" "Yang tukang keriupik balado?"
"Yeee..... bukan. Yang bintang film."
"Masih famili juga?"
"Iya. Para pejuang perang itu ada juga yang dibuang ke Bengkulu. Nah, mereka itulah yang menjadi keluarga Christine Hakim."
"Oooo....," paduan suara lagi.

"Uni Eka tau dari mana?" terdengar sebuah pertanyaan. Saya lupa dari siapa, karena rombongan kami begitu banyak. 33 orang ada di rumah Uni Eka waktu itu.
"Ada kok silsilahnya. Uni Eka pernah lihat waktu Uni tinggal di Jakarta dulu. Tapi sekarang Uni lupa, siapa yang nyimpan."
"Oooo...," paduan suara lagi, tapi sumbang.

Ya ya ya.... Saya orang Jawa. Bisa jadi Presiden

Thursday, November 02, 2006

Mesjid Pak Mentri.

Banyak orang Padang (Baca : Orang Sumatera Barat atau Orang Minangkabau) yang menjadi Mentri atau pernah menjadi Mentri di tanah air. Sebut saja Emil Salim, lalu Harun Zain, kemudian diteruskan pula oleh Azwar Anas, Hasan Basri Durin, selanjutnya Tarmidzi Taher dan sekarang ada Bachtiar Chamsyah.

Saya masih teringat, ketika Harun Zain yang berasal dari Pariaman menjadi Mentri, maka kampung halaman beliau menjadi berubah. Jika dulu orang ke Pantai Pariaman hanya untuk buang hajat besar, maka ketika Harun Zain jadi Mentri, Pantai Pariaman berubah menjadi salah satu objek wisata di Sumatera Barat.



Cerita yang sama juga terjadi ketika Azwar Anas dan Hasan Basri Durin duduk di kabinet. Generasi Mentri selanjutnya adalah Tarmidzi Taher. Menjadi hal yang lumrah ketika menjadi Menteri maka kampung halamannya juga berubah, menjadi lebih baik.

Ada sebuah mesjid yang dibangun oleh Tarmidzi Taher di kampungnya, Padang Panjang. Sebuah mesjid yang indah dan ramai dikunjungi, terletak di pinggir jalan raya antar kota. Saya sempat mampir dan sholat maghrib di mesjid ini. Sayang sekali, airnya irit (kecil, hampir menetes) dan WC nya jorok. Mungkin pengurus mesjidnya tidak siap ketika lebaran banyak yang numpang sholat di sana.



Sebuah mesjid indah juga dibangun oleh Bachtiar Chamsyah, yang saat ini masih menjabat sebagai Mentri Sosial. Mesjid itu dibangun di tepi danau Maninjau, di desa bernama Bayur (baca: Bayua). Ketika berkunjung ke Maninjau, direncanakan saya sholat Jumat di sana. Tetapi, karena rombongan kami terpisah dan cari-carian, alhasil saya hanya sekelebat lewat di mesjid yang indah itu. Indah betul, megah. Ditambah dengan lingkungannya yang masih alami serta danau Maninjau yang terhampar di seberangnya.



Mesjid, mushola atau surau di Sumatera Barat banyak sekali jumlahnya. Saya pernah mendengar bahwa propinsi itu dijuluki Negeri 1000 Mesjid. Jika dari Bukittinggi menuju Padang Panjang, puluhan tempat ibadah sangat mudah ditemukan di kiri kanan jalan, yang berjarak kira-kira 30 KM itu. Menuju ke Maninjau, juga begitu banyak mesjid, mushola atau surau dengan berbagai macam arsitektur, terutama di desa Koto Baru, yang konon dibangun oleh saudagar pedagang emas di wilayah Melawai, Jakarta Selatan dan sekitarnya.

Terbersit pikiran dalam hati, apakah tempat ibadah itu juga ramai pada hari-hari biasa? Jika Saat Hari Raya banyak yang pulang kampung, lalu mereka berkegiatan di Mesjid, Mushola atau Surau, bagaimana dengan di hari biasa? Siapa yang meramaikan Rumah Allah itu?

Membangun rumah ibadah tentu saja cara cespleng untuk mengumpulkan poin agar dapat tiket masuk surga. Tapi kalau kemudian bagunan indah itu ditinggal kosong? Tentuny gak mudah mendapatkan tiket itu. Seandainya nih... seandainya saja saya jadi mentri atau punya uang lebih. Apakah saya akan bangun mesjid juga? Jadi, saya berpikir mungkin akan membiayai anak-anak sekolah anak-anak saja. Biar mereka pintar, mandiri dan memiliki masa depan yang lebih baik. Kemudian, mereka diajak untuk meramaikan mesjid yang ada. Bisa khan? Insya Allah......