Wednesday, March 14, 2007


Kantor Pertamaku

Inilah kantor saya yang pertama di Jakarta. Letaknya di jalan Gatot Subroto. Dulu, sebelum pindah ke Jakarta, saya ingin sekali bekerja di jalan Sudirman, Thamrin atau Kuningan. Tapi rejeki membawa saya bekerja di jalan Gatot Subroto. Gak apalah, masih 'memper', gak jauh-jauh amat dari segitiga emas Jakarta kala itu.
Kerja di Gedung Kanindo (sekarang disebut Plaza BIP) hanya sempat 4 bulan saja. Selanjutnya kantor saya pindah alamat ke Lippo Karawaci, Tangerang. Nama gedungnya Menara Asia. Tetapi, kenangan bekerja di Gedung Kanindo itu masih melekat di pikiran saya. Mungkin karena waktu itu adalah saat-saat berkesan karena saya sebagai warga baru ibukota.

Pertama, saya salah naik bis. Pendatang baru dan pegawai baru, naik bis Patas 6 dari Cawang ke arah Grogol, tapi turun di Komdak. Suatu pagi, hari ke 3 masuk kerja, Patas 6 gak kunjung datang. Kalaupun satu dua kali datang, penuhnya ampun-ampunan. Yang saya tau, Patas 6 punya saudara yaitu Patas 6A ke Muara Karang dan Patas 6B ke Kali Deres.

Karena Patas 6 gak datang juga, saya melompat ke Patas 6A. Pada bagian atas bus ditulis kata "KODAK", yang artinya dia akan berhenti di Komdak, sama seperti Patas 6 yang biasa saya tumpangi. Eh ternyata saya keliru. Bis masuk tol dan keluar-keluar sudah di Tomang (Taman Anggrek sekarang). Dengan cemas saya turun, lalu nyebrang jembatan, nyambung bus lagi arah Cawang. Waktu habis di jalan dan wajah pucat pasi. Resah dan gelisah. Anak baru kok terlambat. Sesampai di kantor, rupanya boss saya tidak ada di tempat. Dan saya lega, walau diledek oleh teman-teman. Bloon, katanya. Biarin!

Kantor saya itu tidak jauh dari bioskop mentereng, Hollywood KC. Suatu hari, di bioskop yang sempat jadi kebanggan Jakarta itu diputar film True Lies, yang dibintangi Arnold Swarchzenegger. Film itu akan ditarik turun, karena menyinggung agama. Rasa penasaran menyebabkan saya ingin sekali melangkahkan kaki, menonton film itu. Pada hari terakhirnya, film itu main jam 5 sore. Sedangkan jam pulang kantor juga jam 5. Artinya, kalau saya mau nonton, saya harus keluar kantor setengah jam lebih awal. Nekad, demi sebuah film yang lagi dibicarakan publik. Takut juga ada karena saya anak baru. Setelah clingak clinguk bentar, saya liat boss gak ada di ruangannya. Ok, aman, pikir saya. Dari lantai 5, saya turun ke lobby pakai lift. Aman, gak ada yang tau. Sampai di lobby, lift terbuka. Boss saya ada di depan lift,mau masuk. Saya pucat. "Mari pak," ujar saya gemetaran. Si boss cuma tersenyum, masuk lift sambil melihat jam tangan. Dan saya tidak melihat lagi ke belakang. Hollywood KC, I am comiinngggggg.....!!!!!

Kenangan lain di kantor pertama itu adalah tentang teman-teman baru saya. Teman-teman yang baik dan menyenangkan. Salah seorang diantaranya, sebut saja Butet. Wanita Batak bersuami orang Jawa yang kalau di kantor suka lepasin sepatu dan nyeker kemana-mana. Rekan yang lain, bilang saja namanya Ujang, pria Sunda pendiam, tapi suka iseng. Suatu sore, Ujang ngumpetin sepatunya Butet, lalu Ujang pulang. Ketika Butet sudah dijemput suaminya, tentu saja Butet mencari-cari sepatunya, yang cuma ada sebelah saja, yang kiri. Butet gak tega suaminya menunggu lama. Sendal jepit teman yang lain dipinjam dan dipakai untuk pulang. "Besok gua bawa lagi," ujar Butet.
Keesokan harinya, susana kantor sedang tegang. Bisu, sangat kaku. Rupanya, Butet marah besar karena Ujang mengaku sepatu Butet "diumpetin" di tempat sampah yang sudah dibuang ke tempat sampah besar oleh Office Boy. Tempat sampah besarpun sudah dibawa oleh truk sampah, entah kemana. Sepatu Butet sebelah kanan lenyap. Ujang diam saja. Butet merepet. Mereka musuhan berminggu-minggu.

Rekan saya yang lain, orang Betawi. Badannya besar. Duduknya di pojok. Kalau dia tidak bersuara, maka tidak ada yang tau kalau dia ada di mejanya. Sebut saja Nando, namanya. Suatu sore, Nando harus lembur. Dia harus duduk di depan komputer di mejanya, karena report harus selesai besok pagi. Jam 7an malam, Satpam mulai keliling. Kontrol, sebelum mengunci pintu, mematikan lampu dan AC. Satpam tidak melihat ada Nando duduk di pojok. Nandopun tidak tau kalau Satpam sedang berkeliling. Nando mulai tersadar ketika lampu dipadamkan, AC sentralpun dimatikan. Alhasil, Nando terkurung di dalam. Tapi Nando tidak hilang akal. Dia memanjang loteng kantor, lalu merangkak di plafon. Persis seperti Tom Cruise di film Mission Impossible. Cuma, si Tom ramping langsing, sedangkan Nando beratnya 80an. Tapi Nando hebat. Dia berhasil keluar dengan selamat.

Wednesday, March 07, 2007

Musibah itu

Gempa di Sumatera Barat meluluhlantakkan banyak bangunan dan memporakporandakan banyak perkampungan. Kepanikan merajalela dimana-mana. Sesaat setelah saya mengetahui bencana itu, saya langsung menelepon ke rumah Ibu di Padang. Kakak saya, Uni Lusi, bercerita tentang hingar bingar yang terjadi saat gempa dengan nada suara yang berapi-api. Uni Lusi tidak biasa begitu. Saya semakin yakin, bahwa musibah itu termasuk kejadian LUAR BIASA.

Lalu bertanyalah tentang keadaan Mami, Ibundaku tercinta dan terkasih yang saat itu sedang berada di Payukumbuh. Mengalirlah cerita bahwa Mami sedang menuju ke Padang ketika gempa terjadi.

"Mami baik-baik saja. Tadi Mami sudah sampai Solok. Tiba-tiba sekarang gak bisa dihubungi. Padahal Solok paling parah kondisinya dan ada yang bilang jalan ke Solok putus. Uni bingung, gak tau mesti kemana menghubungi Mami."

Gak terasa, pandangan saya menjadi kabur. Buram.
Lalu, tersusunlah kata-kata :

Hari ini, gempa besar terjadi diSumatera Barat, kampung halamanku.
Gempa datang tidak sekali, tapimenguncang berulang.
Saya menelpon kakak di rumah kami di Padang.
Alhamdulillah, semua baik, aman tapi belum sepenuhnya tenang.

Cemas kami tak kunjung hilang karena gempa datang gak bilang-bilang,
terdengar nada cemas di seberang.

Terbayang Ibuku tersayang.
77 tahun di September mendatang.
Siapa yang membantu beliau lari tunggang langgang saat gempa datang?
Tangan siapa yang beliau rengkuh,ketika tubuh tak kuasa berlari kencang?
Tak terasa, air mata berlinang.

Hanya doa terucap tak terbilang untuk Ibuku tersayang.
Teman dan sahabatku
Mohon bantu doa ya, semoga Allah tidak menghempaskan amarah lagi.
Semoga tidak ada musibah lagi. Semoga aku gak perlu menangis lagi.
Teman dan sahabatku.
Terima kasih.

Note :
- diambil dr buletin board FS
- terima kasih kepada teman2 yang sudah membaca, berkomentar, berkirim message, sms ataupun telepon.
- karena permintaan teman-teman, maka tulisan di FS itu saya munculkan kembali di sini

Monday, March 05, 2007

No More Intimidation! Huahaha...
(Amin)


Sejak Jumat tanggal 1 Maret yang lalu, praktis saya tidak lagi bertemu sama supir angkot kuning yang setiap pagi saya tumpangi, mulai dari gerbang belakang kompleks rumah saya hingga ke pintu tol Karawaci. Sejak hari itu juga, saya tidak lagi dikerubuti, dipepet bahkan kesel-keselan sama tukang ojek pada saat saya pulang kantor dan turun dari bis patas AC 34 atau 138, rute Blok M - Cimone, Tangerang.

Pengamen-pengamen itu apakabar ya? Mereka masih suka nyanyi fals bin ngawur gak ya? Saya sudah tidak ketemu lagi dengan mereka, terhitung bulan 3 tahun 2007 ini. Padahal, pengamen itu sering jadi hiburan saya sepanjang perjalanan yang kadang bisa memakan waktu 1 jam 30 menit bahkan lebih. Polah tingkah mereka sempat saya tulis di blog ini. Udah pada baca khan? (ehem...)

Walau sering terhibur, tapi sejujurnya saya kadang kala juga merasa terintimidasi, terutama kalo duduk di tengah. Teman-teman yang sudah pernah bertemu saya, akan maklum kalau saya cukup tersiksa di dalam bus karena saya punya kaki panjang bak belalang. Tapi, lebih tersiksa kalau kebetulan duduk di tengah dan pengamen mengambil posisi bersandar di kursi yang saya duduki. Kalau pengamenya bernyanyi dengan baik (tidak perlu bagus kayak Rio Febrian), itu sudah cukup untuk membuat saya lupa bahwa kaki saya tersiksa karena tidak leluasa. Tapi kalau pengamennya amburadul, yo wes... ingin rasanya menutup telinga. Tapi apa daya, saya terintimidasi karena tak bisa berbuat apa-apa selain mengumpat dalam hati (gak berani hehehe)

Duduk di belakang juga bukan berarti bebas dari umpat mengumpat. Pernah ada pengamen, yang setelah selesai 'show', mereka berkumpul di belakang. Saya tetap dengan aksi wajib dalam long journey trip, yaitu tidur. Tapi, para "seniman jalanan" itu sibuk latihan, nyoba-nyoba lagu baru. Saya colek salah seorang diantara mereka. Dengan bahasa isyarat saya katakan bahwa saya mau tidur jadi tolong diam. Syukurlah, mereka patuh.

Tapi, sejak hari Jumat lalu saya terbebas dari intimidasi pengamen di dalam bus. Cuma saya menemukan beberapa kekhawatiran lain, yang bisa saja menjadi 'mengancam' perjalanan panjang saya dari rumah ke kantor dan sebaliknya.

Tapi saya lebih banyak berdoa, terkadang cuma baca Basmallah saja lebih sering dari biasanya. Semua terjadi terhitung sejak hari Jumat lalu, tanggal 1 Maret tahun 2007. Bersejarah rupanya tanggal itu.

Sejarah apa ya? Hehehe... tanpa maksud sombong, tanpa niat apapun, bahkan sebetulnya biasa saja. Saya cuma mau bersykur dan waspada saja, bahwa setelah membuat SIM A pada minggu sebelumnya, maka sejak tanggal 1 Maret kemaren saya memiliki mobil. Mobil saya sendiri. Alhamdulillah.

Mohon doanya juga dari teman-teman yang baca blog ini, semoga saya selalu dilindungi dalam perjalanan rutin hampir setiap hari. Amin