Tuesday, August 28, 2007

Raisah Ali vs Fathya Zana

Raisah Ali diculik, dan berhasil dibebaskan lagi setelah 9 hari terpisah dari orang tuanya. Selain para penculik, pastinya semua pihak menyambut gembira. Raisah terlihat gembira sudah bisa berkumpul lagi di rumahnya. Orang tuanya, apalagi. Sanak famili, yang dekat dan jauh, bahkan yang gak kenalpun, ikut gembira. Satu hal yang saya khawatirkan adalah trauma pasca penculikan.

Alhamdulillah, dalam keluarga besar saya, belum ada kisah penculikan. Insya Allah, jangan sampai terjadi. Tetapi kekhawatiran terhadap penculikan, pernah dialami beberapa tahun lalu. Waktu itu, keponakan saya Fathya, masih SD kelas 1. Rumahnya di Pondok Kelapa, Kali Malang, Jakarta Timur. Sekolahnya di Jl. Raya Inspeksi Kali Malang, tidak jauh dari Rumah Sakit Harum. Biasanya, jam 1 siang Fathya sudah sampai di rumah, diantar oleh mobil antar jemput yang dikelola oleh sekolahan. Tapi hari itu, sudah jam 2, Fathya masih belum kelihatan batang hidungnya (halah!). Tuminah yang bekerja di rumah, segera menelepon Mama Fathya, Rika. Adik saya ini menghubungi pihak sekolah dan dijawab sudah pulang. Al hasil, panik binti heboh. Fathya kemana?

Rika dan Budi, suaminya, segera pulang ke rumah. Para tetangga juga sudah mulai tau dan ikut memenuhi rumah mungil itu. Tidak ada yang tau dan melihat Fathya siang itu. Kepanikan bertambah karena banyak tetangga yang hanya berspekulasi "jangan-jangan begini...... jangan-jangan begitu.....". Sama sekali tidak membantu. Dering telepon selalu disambut dengan kecemasan luar biasa. Tapi ternyata bukan berita luar biasa.

Strategi mulai disusun. Diatur siapa yang akan menyusur jalan, semacam napak tilas, mencari Fathya. Ditunjuk pula siapa yang harus mencari ke rumah sakit, siapa tau terjadi sesuatu pada diri Fathya. Tugas untuk lapor ke polisi juga sudah ditentukan. Tapi tiba-tiba, di luar rumah mendadak ada keramaian. Fathya pulang!

Awalnya wajah Fathya bengong melihat rumahnya ramai dan kedatangannya disambut oleh banyak orang. Kemudian, Fathya menangis karena dipeluk oleh mamanya yang juga berurai air mata sambil mencium-cium dirinya. Fathya bertanya,"Mama kenapa.... Mama kenapa?"

Singkat cerita, malam itu rumah Fathya terasa sekali kegembiraannya. Syukur telah dipanjatkan kepada Allah SWT. Hati pun sudah mulai tenang. Canda dan tawa sudah memenuhi ruangan. Lalu mulailah Fathya ditanya, mengapa dia memilih berjalan kaki pulang sekolah di siang yang panas itu, harus menyeberang jalan raya ramai sebanyak 3 kali dan menempuh waktu perjalanan 2 jam. Tanpa beban, Fathya bercerita apa adanya. Polos, lugu dan berani. Ya, Fathya adalah anak pemberani.

Sampai sekarangpun, Fathya masih menunjukkan keberanian itu. Mungkin wajar-wajar saja bagi orang lain, tapi menurut saya inilah keberanian yang ditunjukkan oleh anak SMP kelas 1. Jadi, ketika diterima di SMP Negeri 2 Tangerang, Fathya meminta agar diijinkan untuk menggunakan angkot saja menuju sekolah. Mama Fathya bilang, nanti saja kalau sudah kelas 2 dan sudah punya banyak teman-teman yang bisa bareng. Tapi Fathya tetap minta naik angkot saja. Sementara itu, saya sudah mulai tanya-tanya siapa yang mau jadi supir untuk antar jemput Fathya sekolah. Tapi Fathya tidak menunjukkan rasa senang untuk menggunakan mobil pribadi ke sekolah, dibandingkan dengan 2 kali naik turun angkot menuju sekolahnya.

"Fathya gak takut?" tanya saya suatu hari.
"Nggak," jawabnya mantap.

Fathya memang pemberani. Atau saya yang penakut?