Tuesday, July 24, 2007

Doa Pengemis Tua untuk Saya

Makan siang hari ini saya pergi ke Hero Permata Hijau, sekalian mau transfer uang. Cukup lama antri di ATM, karena ada 2 orang anak muda sedang belajar menggunakan ATM agaknya. Baru melek bank, kata saya dalam hati.

Selesai dari ATM, saya menuju tempat makan favorit saya di sana. Nasi Rawon. Entah kenapa, setiap ke Hero Permata Hijau, pilihan menu saya selalu itu-itu saja. Tidak pernah berpikir untuk mencoba menu lain. Padahal pilihan makanan di sana banyak banget. Saya pun tidak tau, apakah nasi rawon di sana enak, istimewa atau biasa-biasa saja. Tapi saya suka saja, nasi rawon lengkap dengan sambel dan toge, telur asin plus kerupuk udang. Itulah menu makan siang saya hari ini.

Sambil menunggu pesanan datang, seorang bapak tua menghampiri saya. Bajunya lusuh, kulitnya keriput, kusam. Giginya... wrrrrr..... gitu deh!!! Bapak tua itu seorang pengemis, dia menadahkan tangan ke arah saya. Sejenak saya berpikir bahwa saya sudah lama tidak bersedekah. Lalu saya mengambil selembar uang dari dompet dan menyerahkannya ke bapak tua itu. Sayup-sayup terdengar si bapak itu memanjatkan doa. Tidak hanya berterima kasih, tapi dia berdoa untuk saya, untuk ayah ibu saya, anak dan istri saya (iya... betul), juga untuk pekerjaan saya. Cukup panjang doanya, sampai-sampai saya meng-amin-kan 2 kali. Ketika menu pilihan saya datang, si bapak tua itu mendoakan makanan dan kesehatan saya. Saya berkata"Amin" sekali lagi dan si bapak itu melangkah menjauh.

Siang tadi, tidak ada pengamen di lingkungan Hero Permata Hijau. Saya lupa, apakah emang tidak boleh dan tidak ada, atau emang tumben hari ini tidak ada. Tapi, dibanding dengan pengamen yang suaranya engga enak, lagunya engga jelas, sejujurnya saya lebih senang didoakan oleh si bapak tua tadi. Sempat juga berpikir "Jangan-jangan doa hapalan dan dibacakan untuk semua orang," tapi buru-buru saya buang prasangka itu. Saya hanya berharap semoga pak tua itu tulus dan ikhlas mendoakan saya. Semoga sedikit sedekah dari saya bisa mendapatkan banyak manfaat buat si bapak tua itu. Amin.

Thursday, July 19, 2007

Aku, Mas Narto dan Para Dosen

Hari ini, Kamis 19 Juli 2007, adalah hari yang bikin hati saya tak menentu. Sejak seminggu yang lalu, saya sudah merencanakan untuk hadir ke Undangan dari Rektor Universitas Indonesia, mengikuti acara promosi gelar Doktor Ilmu Komunikasi untuk rekan kuliah saya dulu, Sunarto. Tapi mendadak, saya harus melakukan presentasi siang ini. Harapan untuk memberi dukungan kepada Mas Narto serta kesempatan bertemu teman-teman kuliah dulu mendadak harus batal. Padahal, acara itu juga dihadiri oleh dosen-dosen saya dulu.

Terbayang satu persatu wajah para dosen itu. Ada Bu Evi yang ketua jurusan, Bu Ai yang suaranya empuk banget kalo ngajar, ada Bu Herri yang membimbing skripsi saya. Lalu ada Mas Tandyo dan Mas Hardjo yang sempat saya antar jalan-jalan ke Maninjau dan Bukittinggi. Rasanya masih kemaren sore mereka berkata "Paradise Rinto... Paradise," sambil mengagumi alam di kampung halaman saya.

Selain nama-nama di atas, tentu saja masih banyak nama-nama dan wajah dosen yang saya ingat. Semuanya punya kenangan khusus, pastinya. Ada Pak Yusmilarso. Dia mengusir saya dari ruang kuliah padahal saya baru datang, tapi terlambat. Dan terlambatnya lebih dari 20 menit hehehe....

Ada juga Pak Achmad Noor. Ini dosen pembimbing skripsi saya, selain Ibu Herry dan Mas Hardjo. Bapak ini baik banget, gak aneh-aneh ngobrak-abrik sripsi saya. Saya sempat datang ke rumah beliau ketika dinyatakan lulus skripsi dan membawa buah tangan sebuah kue tart coklat kalau tidak salah hehehhe....

Suntuk hati karena tidak bisa menghadiri promosi rekan saya, sedikit terobati ketika pikiran saya bernostalgia dengan pengalaman-pemangalam waktu kuliah dulu. Ada Pak Bambang Wiryawan, yang kocak dan suka ndagel alias bercerita humor dengan bahasa jawa. Orang lain tertawa dan saya hanya bisa bertanya. Ketika saya mulai paham, orang lain sudah berhenti tertawa dan saya sungkan tertawa sendirian.

Terbayang ketika dulu saya, Narto dan Utami dicalonkan oleh jurusan Ilmu Komunikasi untuk mengikuti program Mahasiswa Berprestasi. Kala itu, Pak Novel Ali meminta Narto menceritakan dalam bahasa Inggris, bagaimana carana dia pulang kampung ke Kudus. Dan hari ini, teman main saya di kampus dulu itu telah mendapatkan gelar Doktor.


Selamat Mas Narto. Mohon maaf tidak bisa hadir memenuhi undangannya. Semoga sukses terus dan maju selamanya. Amin.

Monday, July 09, 2007



Gelisah Datang Tak Diundang

Tanggal 7 Juli tahun ini, konon banyak yang bilang membawa berkah karena tanggal tersebut adalah tanggal cantik. Coba perhatikan : 07-07-07. Ya, cantik memang. Banyak sekali resepsi dan acara pada tanggal tersebut yang kebetulan jatuh di hari Sabtu. Saya, alhamdulillah, juga 'kecipratan' menjadi MC di salah satu acara pernikahan di gedung pertemuan di bilangan Jakarta Selatan.

Tetapi, pada tanggal 07-07-07 itu, salah seorang kerabat saya meninggal dunia. Dini hari saya mendapat telepon dari Ibu saya, serta juga adik saya. Pagi harinya, kakak saya juga menelepon dan menanyakan apakah saya berangkat ke rumah duka. Tentu saja, karena melayat akan membawa pahala lebih besar daripada datang ke pesta. Begitu yang pernah saya dengar.

Dengan adanya kabar duka tersebut, maka segala rencana yang sudah saya susun untuk hari Sabtu itu berubah mendadak. Dari yang semula mau berangkat jam 12-an, dimajukan menjadi jam 8-an karena jam 9 saya akan dijemput oleh kakak saya. Tergopoh-gopoh saya membereskan dan mempersiapkan segala sesuatunya karena saya tidak mau ada yang tertinggal. Berangkat ke rumah duka di Kalimalang, sekaligus mempersiapkan diri menjadi MC di acara pernikahan. Ke rumah duka, saya menggunakan kemeja warna gelap. Tapi untuk acara nikahan, saya menggunakan jas hitam dan kemeja abu-abu.

Dalam perjalanan, saya teringat bahwa saya lupa membawa dasi. Ya sudahlah. Tidak selamanya orang menggunakan jas lengkap dengan dasinya. "Lagi pula, dasi juga bisa dipinjam nantinya," ujar saya dalam hati. Dari mesjid, setelah menyembahkankan jenazah, saya dan kakak serta keponakan saya makan siang di daerah Kalimalang, dan saya selanjutnya di drop di kompleks Bidakara, tempat resepsi pernikahan berlangsung.

Setelah bertemu dengan keluarga calon penganten, ramah tamah sebentar, saya menuju ruang acara untuk mengontrol segala persiapan terutama sound system. Lalu, saya menuju ruang ganti pakaian untuk bersalin, menggunakan jas hitam yang saya bawa. Astaga... !!!! Masalah muncul tanpa disangka. Bukan soal dasi yang terlupa, tapi saya salah membawa jas.

Bagi saya, ini fatal banget! Bagaimana mungkin saya menggunakan jas kedodoran ini sementara saya harus berdiri di depan semua tamu dan undangan? Kenapa bisa terjadi? Ya, tentu saja karena kecerobohan saya. Karena terburu-buru berangkat dari rumah, saya main sambar saja sebuah jas hitam yang tergantung rapi dalam bungkusnya. Padahal, jas yang seharusnya saya bawa adalah jas hitam yang memang dibuat sesuai ukuran saya (custom made). Sedangkan yang terbawa adalah jas pemberian yang tentu saja ukurannya berbeda dengan tubuh saya yang ajaib ini.

Rasanya, baru kali ini saya hilang PD karena salah kostum. Jas hitam itu sepintas mirip jas hujan di badan saya. Kacau! Sepanjang acara, saya sibuk mengatur posisi berdiri agar jas kedodoran itu masih tampak baik dan elok dipandang mata. Gelisah benar-benar datang dan tak kunjung hilang. Kalau ada yang melihat saya, saya langsung menghindari tatapan mata karena takut ketahuan bahwa jas saya kedodoran.

Barangkali menjadi suatu hiburan yang sangat berarti karena hingga saya pulang tidak ada yang berkomentar tentang jas 'kebesaran' itu.

Monday, July 02, 2007

Sunat atau khitan (dan cerita dibaliknya)

Sunat atau khitan adalah kewajiban bagi pria muslim. Menjelang akil baligh, biasanya seorang anak akan menjadi tidak utuh lagi sebagai manusia karena ada bagian tubuhnya yang dibuang heheheh.....

Banyak cerita seputar sunat ini. Saya sendiri melaksanakannya ketika kelas 5 SD. Sudah lama sekali. Yang saya ingat, saya sempat berdarah-darah pulang sekolah. Seminggu setelah disunat, saya harus sekolah karena libur sudah selesai. Perban masih terpasang, tapi khan gak mungkin ke sekolah pake sarung. Alhasil, di sekolah lebih banyak diam, tidak banyak berjalan-jalan apalagi lari-larian. Pulang sekolah, tas panjang menyilang dari bahu ke arah depan, menutupi celana yang berdarah-darah itu. Kejadian berdarah inilah yang membuka pikiran dan ingatan saya bahwa jenis darah saya termasuk yang sulit kering jika terjadi luka.

Hal lain yang saya ingat adalah bahwa setelah sunat, saya boleh belajar mengendarai sepeda motor.

Cerita seputar sunat dan berdarah-darah (kok horor ya? hehehe...) saya ingat salah seorang teman saya di kantor yang lama. Sebut saja Maya namanya. Anaknya hendak disunat dan Maya berpikir pastinya suaminya, Ahmad, akan ikut masuk ke dalam ruang praktek dokter sunat itu. Tapi, ternyata Ahmad gak ikutan masuk. Alasannya,"Gak kuat liat darah." Akhirnya, Maya masuk menemani sang anak yang hendak menuju perubahan status, dari bocah pria menjadi pria remaja. Ketika dokter mulai bekerja, suntik bius lokal selesai, lalu mulai memegang gunting. Kresss...... Tiba-tiba Maya sempoyongan, tidak kuat melihat 'derita' yang terjadi pada buah hatinya. Maya semaput. Suster dan asisten dokter di ruang praktek itu panik. Terjadi kehebohan sesaat. Ahmad, sang suami yang berada di luar tentu saja kalut dan buru-buru masuk. Dia melihat kenyataan istrinya terkapar, pingsan dan anaknya telentang dengan bagian tubuhnya tersayat...... Ahmad pun ikut istrinya. Terpakar, pingsan.

Sejenak terjadi hingar bingar di ruang praktek dokter sunat itu. 2 orang pingsan dan digotong ke luar. Sementara itu, si bocah yang disunat menangis-nangis di dalam. Al hasil, menurut cerita Maya dan Ahmad, banyak anak-anak yang akan disunat membatalkan diri untuk disunat hari itu. Entah ganti jadwal ke hari lain, entah ganti ke tahun depan, entah ganti dokter.... entahlah.

Cerita lain, waktu saya KKN di Desa Kerep, Kecamatan Sulang, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Seorang pemuda dewasa menjadi bahan tertawaan di kampungnya karena dia adalah satu-satunya pria dewasa yang ikutan program sunatan masal di desa itu. Apa pasal? Dia bukan mualaf, tapi kenapa ikutan berbaris diantara anak-anak kecil lainnya? Rasanya hanya dia yang diwajibkan untuk bercukur sebelum bersunat. Sambil tersenyum malu, dia menjelaskan bahwa waktu masih bocah dulu, dia sudah disunat. "Tapi kulup lagi", katanya. Jadi dia kurang puas dengan hasil yang ada sekarang. Dia merasa sunat yang dahulu masih kurang sempurna, sehingga dia ingin kali ini 'dipotong dan dirapihkan'. Ada-ada saja :)