Thursday, September 06, 2007

Marhaban ya Ramadhan

Beberapa hari lalu, seorang teman lama menyapa di YM. Katanya "Apa persiapan kamu menjelang Ramadhan?" Gelagapan saya menjawabnya. Ramadhan bulan yang indah, agung dan penuh berkah, emang layak disambut. Penyambutan kedatangan Ramadhan harusnya lebih meriah daripada menyambut kedatangan tamu di rumah, misalnya. Tapi, ini sudah seminggu menjelang Ramadhan. Kenapa saya belum persiapan apa-apa ya?

Apa sih sebetulnya yang perlu dipersiapkan menyambut Ramadhan? Pastinya, hati yang paling penting. Rasa gembira karena Ramadhan segera tiba, bagi saya sudah cukup. Tapi.. wait.. wait.... bentar.....

Saya beli magic jar beberapa minggu lalu... ya.... itu persiapan menjelang Ramadhan khan? Tapi, kok cuma itu saja? Apalagi ya?

Tadi pagi saat berangkat ke kantor, saya mendengar radio, ada sebuah dialog yang ujug-ujug, tiba-tiba dan sekonyong-konyong, membuka mata hati dan pikiran saya. Di radio itu (i-Radio, kalau engga salah) digambarkan tentang seorang pria yang membeli baju koko dan peci baru, juga beli sajadah serta sarung baru untuk menyambut Ramadhan. "Ah, percuma saja kalau sholat masih bolong-bolong," komentar seorang wanita dalam dialog itu.

Dialog itu benar-benar menjadi inspirasi bagi saya. Sarung, peci, baju dan sajadah yang baik bisa menjadi pemicu agar kita lebih menghargai ibadah kita. Selanjutnya, diharapkan ibadah lebih banyak, lebih sempurna. Ibaratnya, kalau kita berangkat ke kantor dengan pakaian yang baik, secara tidak langsung ada tuntutan dari diri kita untuk melakukan pekerjaan dengan baik pula. Makanya banyak kantor yang mewajibkan karyawannya pakai dasi, dan busana rapih formal lainnya.

Jadi, saat pulang kantor nanti, saya akan bongkar lemari. Cari baju-baju yang baik untuk sholat taraweh. Cari sarung yang baik, sajadah yang bagus dan dicuci lagi pakai pewangi supaya pas sujud tercium bau wangi.... bau surga.... semoga ibadahnya khusuk. Amin.

Marhaban ya Ramadhan.....

Tuesday, August 28, 2007

Raisah Ali vs Fathya Zana

Raisah Ali diculik, dan berhasil dibebaskan lagi setelah 9 hari terpisah dari orang tuanya. Selain para penculik, pastinya semua pihak menyambut gembira. Raisah terlihat gembira sudah bisa berkumpul lagi di rumahnya. Orang tuanya, apalagi. Sanak famili, yang dekat dan jauh, bahkan yang gak kenalpun, ikut gembira. Satu hal yang saya khawatirkan adalah trauma pasca penculikan.

Alhamdulillah, dalam keluarga besar saya, belum ada kisah penculikan. Insya Allah, jangan sampai terjadi. Tetapi kekhawatiran terhadap penculikan, pernah dialami beberapa tahun lalu. Waktu itu, keponakan saya Fathya, masih SD kelas 1. Rumahnya di Pondok Kelapa, Kali Malang, Jakarta Timur. Sekolahnya di Jl. Raya Inspeksi Kali Malang, tidak jauh dari Rumah Sakit Harum. Biasanya, jam 1 siang Fathya sudah sampai di rumah, diantar oleh mobil antar jemput yang dikelola oleh sekolahan. Tapi hari itu, sudah jam 2, Fathya masih belum kelihatan batang hidungnya (halah!). Tuminah yang bekerja di rumah, segera menelepon Mama Fathya, Rika. Adik saya ini menghubungi pihak sekolah dan dijawab sudah pulang. Al hasil, panik binti heboh. Fathya kemana?

Rika dan Budi, suaminya, segera pulang ke rumah. Para tetangga juga sudah mulai tau dan ikut memenuhi rumah mungil itu. Tidak ada yang tau dan melihat Fathya siang itu. Kepanikan bertambah karena banyak tetangga yang hanya berspekulasi "jangan-jangan begini...... jangan-jangan begitu.....". Sama sekali tidak membantu. Dering telepon selalu disambut dengan kecemasan luar biasa. Tapi ternyata bukan berita luar biasa.

Strategi mulai disusun. Diatur siapa yang akan menyusur jalan, semacam napak tilas, mencari Fathya. Ditunjuk pula siapa yang harus mencari ke rumah sakit, siapa tau terjadi sesuatu pada diri Fathya. Tugas untuk lapor ke polisi juga sudah ditentukan. Tapi tiba-tiba, di luar rumah mendadak ada keramaian. Fathya pulang!

Awalnya wajah Fathya bengong melihat rumahnya ramai dan kedatangannya disambut oleh banyak orang. Kemudian, Fathya menangis karena dipeluk oleh mamanya yang juga berurai air mata sambil mencium-cium dirinya. Fathya bertanya,"Mama kenapa.... Mama kenapa?"

Singkat cerita, malam itu rumah Fathya terasa sekali kegembiraannya. Syukur telah dipanjatkan kepada Allah SWT. Hati pun sudah mulai tenang. Canda dan tawa sudah memenuhi ruangan. Lalu mulailah Fathya ditanya, mengapa dia memilih berjalan kaki pulang sekolah di siang yang panas itu, harus menyeberang jalan raya ramai sebanyak 3 kali dan menempuh waktu perjalanan 2 jam. Tanpa beban, Fathya bercerita apa adanya. Polos, lugu dan berani. Ya, Fathya adalah anak pemberani.

Sampai sekarangpun, Fathya masih menunjukkan keberanian itu. Mungkin wajar-wajar saja bagi orang lain, tapi menurut saya inilah keberanian yang ditunjukkan oleh anak SMP kelas 1. Jadi, ketika diterima di SMP Negeri 2 Tangerang, Fathya meminta agar diijinkan untuk menggunakan angkot saja menuju sekolah. Mama Fathya bilang, nanti saja kalau sudah kelas 2 dan sudah punya banyak teman-teman yang bisa bareng. Tapi Fathya tetap minta naik angkot saja. Sementara itu, saya sudah mulai tanya-tanya siapa yang mau jadi supir untuk antar jemput Fathya sekolah. Tapi Fathya tidak menunjukkan rasa senang untuk menggunakan mobil pribadi ke sekolah, dibandingkan dengan 2 kali naik turun angkot menuju sekolahnya.

"Fathya gak takut?" tanya saya suatu hari.
"Nggak," jawabnya mantap.

Fathya memang pemberani. Atau saya yang penakut?

Tuesday, July 24, 2007

Doa Pengemis Tua untuk Saya

Makan siang hari ini saya pergi ke Hero Permata Hijau, sekalian mau transfer uang. Cukup lama antri di ATM, karena ada 2 orang anak muda sedang belajar menggunakan ATM agaknya. Baru melek bank, kata saya dalam hati.

Selesai dari ATM, saya menuju tempat makan favorit saya di sana. Nasi Rawon. Entah kenapa, setiap ke Hero Permata Hijau, pilihan menu saya selalu itu-itu saja. Tidak pernah berpikir untuk mencoba menu lain. Padahal pilihan makanan di sana banyak banget. Saya pun tidak tau, apakah nasi rawon di sana enak, istimewa atau biasa-biasa saja. Tapi saya suka saja, nasi rawon lengkap dengan sambel dan toge, telur asin plus kerupuk udang. Itulah menu makan siang saya hari ini.

Sambil menunggu pesanan datang, seorang bapak tua menghampiri saya. Bajunya lusuh, kulitnya keriput, kusam. Giginya... wrrrrr..... gitu deh!!! Bapak tua itu seorang pengemis, dia menadahkan tangan ke arah saya. Sejenak saya berpikir bahwa saya sudah lama tidak bersedekah. Lalu saya mengambil selembar uang dari dompet dan menyerahkannya ke bapak tua itu. Sayup-sayup terdengar si bapak itu memanjatkan doa. Tidak hanya berterima kasih, tapi dia berdoa untuk saya, untuk ayah ibu saya, anak dan istri saya (iya... betul), juga untuk pekerjaan saya. Cukup panjang doanya, sampai-sampai saya meng-amin-kan 2 kali. Ketika menu pilihan saya datang, si bapak tua itu mendoakan makanan dan kesehatan saya. Saya berkata"Amin" sekali lagi dan si bapak itu melangkah menjauh.

Siang tadi, tidak ada pengamen di lingkungan Hero Permata Hijau. Saya lupa, apakah emang tidak boleh dan tidak ada, atau emang tumben hari ini tidak ada. Tapi, dibanding dengan pengamen yang suaranya engga enak, lagunya engga jelas, sejujurnya saya lebih senang didoakan oleh si bapak tua tadi. Sempat juga berpikir "Jangan-jangan doa hapalan dan dibacakan untuk semua orang," tapi buru-buru saya buang prasangka itu. Saya hanya berharap semoga pak tua itu tulus dan ikhlas mendoakan saya. Semoga sedikit sedekah dari saya bisa mendapatkan banyak manfaat buat si bapak tua itu. Amin.

Thursday, July 19, 2007

Aku, Mas Narto dan Para Dosen

Hari ini, Kamis 19 Juli 2007, adalah hari yang bikin hati saya tak menentu. Sejak seminggu yang lalu, saya sudah merencanakan untuk hadir ke Undangan dari Rektor Universitas Indonesia, mengikuti acara promosi gelar Doktor Ilmu Komunikasi untuk rekan kuliah saya dulu, Sunarto. Tapi mendadak, saya harus melakukan presentasi siang ini. Harapan untuk memberi dukungan kepada Mas Narto serta kesempatan bertemu teman-teman kuliah dulu mendadak harus batal. Padahal, acara itu juga dihadiri oleh dosen-dosen saya dulu.

Terbayang satu persatu wajah para dosen itu. Ada Bu Evi yang ketua jurusan, Bu Ai yang suaranya empuk banget kalo ngajar, ada Bu Herri yang membimbing skripsi saya. Lalu ada Mas Tandyo dan Mas Hardjo yang sempat saya antar jalan-jalan ke Maninjau dan Bukittinggi. Rasanya masih kemaren sore mereka berkata "Paradise Rinto... Paradise," sambil mengagumi alam di kampung halaman saya.

Selain nama-nama di atas, tentu saja masih banyak nama-nama dan wajah dosen yang saya ingat. Semuanya punya kenangan khusus, pastinya. Ada Pak Yusmilarso. Dia mengusir saya dari ruang kuliah padahal saya baru datang, tapi terlambat. Dan terlambatnya lebih dari 20 menit hehehe....

Ada juga Pak Achmad Noor. Ini dosen pembimbing skripsi saya, selain Ibu Herry dan Mas Hardjo. Bapak ini baik banget, gak aneh-aneh ngobrak-abrik sripsi saya. Saya sempat datang ke rumah beliau ketika dinyatakan lulus skripsi dan membawa buah tangan sebuah kue tart coklat kalau tidak salah hehehhe....

Suntuk hati karena tidak bisa menghadiri promosi rekan saya, sedikit terobati ketika pikiran saya bernostalgia dengan pengalaman-pemangalam waktu kuliah dulu. Ada Pak Bambang Wiryawan, yang kocak dan suka ndagel alias bercerita humor dengan bahasa jawa. Orang lain tertawa dan saya hanya bisa bertanya. Ketika saya mulai paham, orang lain sudah berhenti tertawa dan saya sungkan tertawa sendirian.

Terbayang ketika dulu saya, Narto dan Utami dicalonkan oleh jurusan Ilmu Komunikasi untuk mengikuti program Mahasiswa Berprestasi. Kala itu, Pak Novel Ali meminta Narto menceritakan dalam bahasa Inggris, bagaimana carana dia pulang kampung ke Kudus. Dan hari ini, teman main saya di kampus dulu itu telah mendapatkan gelar Doktor.


Selamat Mas Narto. Mohon maaf tidak bisa hadir memenuhi undangannya. Semoga sukses terus dan maju selamanya. Amin.

Monday, July 09, 2007



Gelisah Datang Tak Diundang

Tanggal 7 Juli tahun ini, konon banyak yang bilang membawa berkah karena tanggal tersebut adalah tanggal cantik. Coba perhatikan : 07-07-07. Ya, cantik memang. Banyak sekali resepsi dan acara pada tanggal tersebut yang kebetulan jatuh di hari Sabtu. Saya, alhamdulillah, juga 'kecipratan' menjadi MC di salah satu acara pernikahan di gedung pertemuan di bilangan Jakarta Selatan.

Tetapi, pada tanggal 07-07-07 itu, salah seorang kerabat saya meninggal dunia. Dini hari saya mendapat telepon dari Ibu saya, serta juga adik saya. Pagi harinya, kakak saya juga menelepon dan menanyakan apakah saya berangkat ke rumah duka. Tentu saja, karena melayat akan membawa pahala lebih besar daripada datang ke pesta. Begitu yang pernah saya dengar.

Dengan adanya kabar duka tersebut, maka segala rencana yang sudah saya susun untuk hari Sabtu itu berubah mendadak. Dari yang semula mau berangkat jam 12-an, dimajukan menjadi jam 8-an karena jam 9 saya akan dijemput oleh kakak saya. Tergopoh-gopoh saya membereskan dan mempersiapkan segala sesuatunya karena saya tidak mau ada yang tertinggal. Berangkat ke rumah duka di Kalimalang, sekaligus mempersiapkan diri menjadi MC di acara pernikahan. Ke rumah duka, saya menggunakan kemeja warna gelap. Tapi untuk acara nikahan, saya menggunakan jas hitam dan kemeja abu-abu.

Dalam perjalanan, saya teringat bahwa saya lupa membawa dasi. Ya sudahlah. Tidak selamanya orang menggunakan jas lengkap dengan dasinya. "Lagi pula, dasi juga bisa dipinjam nantinya," ujar saya dalam hati. Dari mesjid, setelah menyembahkankan jenazah, saya dan kakak serta keponakan saya makan siang di daerah Kalimalang, dan saya selanjutnya di drop di kompleks Bidakara, tempat resepsi pernikahan berlangsung.

Setelah bertemu dengan keluarga calon penganten, ramah tamah sebentar, saya menuju ruang acara untuk mengontrol segala persiapan terutama sound system. Lalu, saya menuju ruang ganti pakaian untuk bersalin, menggunakan jas hitam yang saya bawa. Astaga... !!!! Masalah muncul tanpa disangka. Bukan soal dasi yang terlupa, tapi saya salah membawa jas.

Bagi saya, ini fatal banget! Bagaimana mungkin saya menggunakan jas kedodoran ini sementara saya harus berdiri di depan semua tamu dan undangan? Kenapa bisa terjadi? Ya, tentu saja karena kecerobohan saya. Karena terburu-buru berangkat dari rumah, saya main sambar saja sebuah jas hitam yang tergantung rapi dalam bungkusnya. Padahal, jas yang seharusnya saya bawa adalah jas hitam yang memang dibuat sesuai ukuran saya (custom made). Sedangkan yang terbawa adalah jas pemberian yang tentu saja ukurannya berbeda dengan tubuh saya yang ajaib ini.

Rasanya, baru kali ini saya hilang PD karena salah kostum. Jas hitam itu sepintas mirip jas hujan di badan saya. Kacau! Sepanjang acara, saya sibuk mengatur posisi berdiri agar jas kedodoran itu masih tampak baik dan elok dipandang mata. Gelisah benar-benar datang dan tak kunjung hilang. Kalau ada yang melihat saya, saya langsung menghindari tatapan mata karena takut ketahuan bahwa jas saya kedodoran.

Barangkali menjadi suatu hiburan yang sangat berarti karena hingga saya pulang tidak ada yang berkomentar tentang jas 'kebesaran' itu.

Monday, July 02, 2007

Sunat atau khitan (dan cerita dibaliknya)

Sunat atau khitan adalah kewajiban bagi pria muslim. Menjelang akil baligh, biasanya seorang anak akan menjadi tidak utuh lagi sebagai manusia karena ada bagian tubuhnya yang dibuang heheheh.....

Banyak cerita seputar sunat ini. Saya sendiri melaksanakannya ketika kelas 5 SD. Sudah lama sekali. Yang saya ingat, saya sempat berdarah-darah pulang sekolah. Seminggu setelah disunat, saya harus sekolah karena libur sudah selesai. Perban masih terpasang, tapi khan gak mungkin ke sekolah pake sarung. Alhasil, di sekolah lebih banyak diam, tidak banyak berjalan-jalan apalagi lari-larian. Pulang sekolah, tas panjang menyilang dari bahu ke arah depan, menutupi celana yang berdarah-darah itu. Kejadian berdarah inilah yang membuka pikiran dan ingatan saya bahwa jenis darah saya termasuk yang sulit kering jika terjadi luka.

Hal lain yang saya ingat adalah bahwa setelah sunat, saya boleh belajar mengendarai sepeda motor.

Cerita seputar sunat dan berdarah-darah (kok horor ya? hehehe...) saya ingat salah seorang teman saya di kantor yang lama. Sebut saja Maya namanya. Anaknya hendak disunat dan Maya berpikir pastinya suaminya, Ahmad, akan ikut masuk ke dalam ruang praktek dokter sunat itu. Tapi, ternyata Ahmad gak ikutan masuk. Alasannya,"Gak kuat liat darah." Akhirnya, Maya masuk menemani sang anak yang hendak menuju perubahan status, dari bocah pria menjadi pria remaja. Ketika dokter mulai bekerja, suntik bius lokal selesai, lalu mulai memegang gunting. Kresss...... Tiba-tiba Maya sempoyongan, tidak kuat melihat 'derita' yang terjadi pada buah hatinya. Maya semaput. Suster dan asisten dokter di ruang praktek itu panik. Terjadi kehebohan sesaat. Ahmad, sang suami yang berada di luar tentu saja kalut dan buru-buru masuk. Dia melihat kenyataan istrinya terkapar, pingsan dan anaknya telentang dengan bagian tubuhnya tersayat...... Ahmad pun ikut istrinya. Terpakar, pingsan.

Sejenak terjadi hingar bingar di ruang praktek dokter sunat itu. 2 orang pingsan dan digotong ke luar. Sementara itu, si bocah yang disunat menangis-nangis di dalam. Al hasil, menurut cerita Maya dan Ahmad, banyak anak-anak yang akan disunat membatalkan diri untuk disunat hari itu. Entah ganti jadwal ke hari lain, entah ganti ke tahun depan, entah ganti dokter.... entahlah.

Cerita lain, waktu saya KKN di Desa Kerep, Kecamatan Sulang, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Seorang pemuda dewasa menjadi bahan tertawaan di kampungnya karena dia adalah satu-satunya pria dewasa yang ikutan program sunatan masal di desa itu. Apa pasal? Dia bukan mualaf, tapi kenapa ikutan berbaris diantara anak-anak kecil lainnya? Rasanya hanya dia yang diwajibkan untuk bercukur sebelum bersunat. Sambil tersenyum malu, dia menjelaskan bahwa waktu masih bocah dulu, dia sudah disunat. "Tapi kulup lagi", katanya. Jadi dia kurang puas dengan hasil yang ada sekarang. Dia merasa sunat yang dahulu masih kurang sempurna, sehingga dia ingin kali ini 'dipotong dan dirapihkan'. Ada-ada saja :)

Wednesday, June 27, 2007

Hati-hati vs Wajah-wajah

Keponakan saya, Puti, bercerita tentang seorang Ibu yang kebetulan duduk di sebelahnya dalam suatu perjalanan dari Karawaci menuju Blok M, naik bis umum. Suatu ketika, si Ibu bertanya,"Kamu orang Batak ya?" Puti kaget, karena itulah kali pertama dia diduga sebagai orang Batak.

"Kenapa Ibu bertanya begitu? Saya bukan orang Batak," Puti balik bertanya.
"Atau orang Arab ya?" si Ibu masih tebak-tebak buah manggis.
Puti cuma tersenyum. Sekali lagi, baru pertama kalinya dia diduga orang Arab.

Tadi pagi Puti bertanya, sebetulnya wajahnya mirip orang mana atau orang apa?
"Saudara ayah pernah bilang Puti mirip bule. Tapi di kampus, temen-temen Puti bilang muka Puti Padang banget," cerocos mahasiswi UI ini.

Saya hanya tersenyum. Bagi saya, gak ada artinya wajah seseorang itu mirip dengan suku atau ras apa. Kita memang sering 'termakan' pameo-pameo atau stereotype yang salah kaprah. Orang Batak begini begitu, orang Padang begana begini, orang Jawa gini gitu..... Makanya, kita jadi sering merasa kurang nyaman kalau suatu saat ditebak dan salah.

Suatu hari, ketika masih kuliah, mirip seperti yang dialami Puti. Saya juga diajak bicara dalam sebuah kendaraan umum oleh seorang pria yang umurnya 10- 15 tahun di atas saya. Ketika melewati sebuah sekolah, saya dan pria itu melihat para pelajar itu keluar dari sekolah mereka karena memang jam bubaran sekolah. Macam-macam tingkah polah mereka. Suara mereka juga terdengar nyaring, riang, menjerit dan sedikit keterlaluan serta menganggu, menurut saya. Ternyata si Mas di sebelah saya juga merasa begitu. Lalu meluncurlah kalimat-kalimat omelan yang bersangkut paut dengan ras, suku serta keturunan, karena ternyata dia tidak senang dengan sikap para pelajar yang sebagian besar keturunan Cina. Jelas terlihat dari mata sipit mereka.

Merasa tidak senang dengan kalimat-kalimat si Mas itu, saya cuma berkomentar singkat. "Gak semua yang mas bilang itu benar. Ibu saya keturunan Cina kok," ujar saya santai.

Si Mas itu mendadak gagu. Matanya terbelalak, lehernya kaku, bibirnya kelu, lidahnya beku. Rahangnya terkatup rapat, seperti sedang terhukum dengan todongan bayonet di ubun-ubunnya.

Sebenarnya saya merasa kasihan padanya karena telah berbohong. Tapi tidak apalah kalau kala itu saya justru tertawa dalam hati. Pelajaran itu tidak selamanya dari buku. Ilmu itu tidak selamanya dari guru. Isi kepala kita bisa bertambah dari hal-hal yang kita alami, bisa pahit bisa manis. Harapan saya, si Mas itu bisa sedikit belajar agar tidak terlalu meng-generalisir hal-hal negatif tentang suatu suku atau ras. Pandanglah seseorang itu sebagaimana pribadinya, bukan dari sukunya.

Setuju? :)

Tuesday, June 26, 2007

Menunggu Angin

Hari Senin lalu, kakak saya yang nomor 2, Uni Lusi, menjalani operasi. Ada bagian dari organ peranakannya yang harus 'dibereskan'. Alhamdulillah, operasi berjalan lancar dan selesai dalam waktu 2,5 jam. Selasa malam, sepulang kantor, saya mampir kembali ke rumah sakit. Saya menemukan Uni Lusi sedang kesakitan. Berkali-kali meringis dan mendesis. Kasihan sekali melihatnya. Ternyata, biang keroknya adalah angin dalam perut yang dihasilkan oleh pengaruh anastesi (pembiusan). Sakit yang melilit itu akan hilang apabila Uni Lusi terkentut (maaf).

Tahun 1997, saya juga pernah dioperasi. Usus buntu. Saat menunggu angin keluar dari perut juga menjadi masalah waktu itu. Sudah berasa akan keluar, tapi si angin sepertinya buta, tidak bisa melihat jalan keluar yang tepat untuknya. Muter-muter di perut bikin mules. Tapi, ketika dia keluar, tidaklah sedahsyat yang saya kira. Tidak berbunyi sama sekali. Walaupun bikin lega di perut, tapi tidak bikin lega di hati. (Dasar kentut kurang ajar!!! Hahahha...)

Perkara buang angin ini, saya termasuk yang jarang membuang sembarangan. Tapi bukan berarti saya tidak pernah kerepotan dengannya. Saya masih ingat, di Masjidil Haram, duduk gelisah di depan Ka'bah. Sang angin mendadak ingin lepas tanpa ingat waktu dan tempat. Daripada lepas ketika sedang sholat, akhirnya saya mengikhlaskan tempat duduk saya diambil oleh jamaah lain karena saya harus berdiri menuju tempat wudhu.

Ayah saya justru lebih parah. Lokasi kejadian lebih kurang sama, ketika pergi Haji. Beliau harus bolak-balik ke tempat wudhu karena "lepas melulu". Akhirnya, beliau terpaksa sholat tidak jauh dari tempat wudhu supaya tidak capek bolak-balik.

Kentut, emang sering bikin masalah. Ibarat teka teki yang sering kali saya lontarkan, bahwa yang kehilangan gak akan nyari-nyari. Tapi yang menemukan (baunya), pasti akan clingukan dan menduga-duga, angin milik siapa ya ini? (sambil tutup hidung)

Thursday, May 10, 2007

April Udah Lewat

Keterlaluan!!! Bener-bener kebangetan! Blog ini tidak terjamah hampir 2 bulan. Hm..... seandainya dia kekasihku, lalu aku tidak berkunjung ke rumahnya selama 2 bulan, wajar kalau dia marah dan tak mau membukakan pintu buatku.

Dan, hari ini, waktuku habis hampir setengah hari, berjuang mengingat-ingat password. Aku dikutuk sama blog tersayang ini. Aku merasa dilaknat! Bedebah sekali aku.... Aku minta maaf. Minta ampun. Nyuwun ngapuro.

Ya, sekarang sudah hampir pertengahan Mei 2007. April sudah habis dan sepanjang bulan April tidak satupun tulisan termuat di blog ini. Ingat punya ingat, sepanjang April sebetulnya ada peristiwa akbar dalam hidup saya. Tepatnya tanggal 11 April lalu. Apa ya... apa sih apa dong, iya sih iya dong, boleh sih boleh dong... halah!

Tapi kesibukan kerja membuat saya tak sempat membuka blog ini dan menulis hal-hal yang terasa dan terjadi tanggal 11 April lalu. Kalau harus ditulis sekarang, wah.... lupa. Blas.... Gak ingat! Karena apa?

Ya ya.... karena pekerjaan yang menumpuk dan saya tidak bisa membakarnya dengan baik sehingga tumpukan itu membusuk, menyebar bau tak sedap dan membawa penyakit bagi orang-orang sekitar.

Ya ya... ini cerita tak sedap. Semoga bisa segera selesai. Amin!

Wednesday, March 14, 2007


Kantor Pertamaku

Inilah kantor saya yang pertama di Jakarta. Letaknya di jalan Gatot Subroto. Dulu, sebelum pindah ke Jakarta, saya ingin sekali bekerja di jalan Sudirman, Thamrin atau Kuningan. Tapi rejeki membawa saya bekerja di jalan Gatot Subroto. Gak apalah, masih 'memper', gak jauh-jauh amat dari segitiga emas Jakarta kala itu.
Kerja di Gedung Kanindo (sekarang disebut Plaza BIP) hanya sempat 4 bulan saja. Selanjutnya kantor saya pindah alamat ke Lippo Karawaci, Tangerang. Nama gedungnya Menara Asia. Tetapi, kenangan bekerja di Gedung Kanindo itu masih melekat di pikiran saya. Mungkin karena waktu itu adalah saat-saat berkesan karena saya sebagai warga baru ibukota.

Pertama, saya salah naik bis. Pendatang baru dan pegawai baru, naik bis Patas 6 dari Cawang ke arah Grogol, tapi turun di Komdak. Suatu pagi, hari ke 3 masuk kerja, Patas 6 gak kunjung datang. Kalaupun satu dua kali datang, penuhnya ampun-ampunan. Yang saya tau, Patas 6 punya saudara yaitu Patas 6A ke Muara Karang dan Patas 6B ke Kali Deres.

Karena Patas 6 gak datang juga, saya melompat ke Patas 6A. Pada bagian atas bus ditulis kata "KODAK", yang artinya dia akan berhenti di Komdak, sama seperti Patas 6 yang biasa saya tumpangi. Eh ternyata saya keliru. Bis masuk tol dan keluar-keluar sudah di Tomang (Taman Anggrek sekarang). Dengan cemas saya turun, lalu nyebrang jembatan, nyambung bus lagi arah Cawang. Waktu habis di jalan dan wajah pucat pasi. Resah dan gelisah. Anak baru kok terlambat. Sesampai di kantor, rupanya boss saya tidak ada di tempat. Dan saya lega, walau diledek oleh teman-teman. Bloon, katanya. Biarin!

Kantor saya itu tidak jauh dari bioskop mentereng, Hollywood KC. Suatu hari, di bioskop yang sempat jadi kebanggan Jakarta itu diputar film True Lies, yang dibintangi Arnold Swarchzenegger. Film itu akan ditarik turun, karena menyinggung agama. Rasa penasaran menyebabkan saya ingin sekali melangkahkan kaki, menonton film itu. Pada hari terakhirnya, film itu main jam 5 sore. Sedangkan jam pulang kantor juga jam 5. Artinya, kalau saya mau nonton, saya harus keluar kantor setengah jam lebih awal. Nekad, demi sebuah film yang lagi dibicarakan publik. Takut juga ada karena saya anak baru. Setelah clingak clinguk bentar, saya liat boss gak ada di ruangannya. Ok, aman, pikir saya. Dari lantai 5, saya turun ke lobby pakai lift. Aman, gak ada yang tau. Sampai di lobby, lift terbuka. Boss saya ada di depan lift,mau masuk. Saya pucat. "Mari pak," ujar saya gemetaran. Si boss cuma tersenyum, masuk lift sambil melihat jam tangan. Dan saya tidak melihat lagi ke belakang. Hollywood KC, I am comiinngggggg.....!!!!!

Kenangan lain di kantor pertama itu adalah tentang teman-teman baru saya. Teman-teman yang baik dan menyenangkan. Salah seorang diantaranya, sebut saja Butet. Wanita Batak bersuami orang Jawa yang kalau di kantor suka lepasin sepatu dan nyeker kemana-mana. Rekan yang lain, bilang saja namanya Ujang, pria Sunda pendiam, tapi suka iseng. Suatu sore, Ujang ngumpetin sepatunya Butet, lalu Ujang pulang. Ketika Butet sudah dijemput suaminya, tentu saja Butet mencari-cari sepatunya, yang cuma ada sebelah saja, yang kiri. Butet gak tega suaminya menunggu lama. Sendal jepit teman yang lain dipinjam dan dipakai untuk pulang. "Besok gua bawa lagi," ujar Butet.
Keesokan harinya, susana kantor sedang tegang. Bisu, sangat kaku. Rupanya, Butet marah besar karena Ujang mengaku sepatu Butet "diumpetin" di tempat sampah yang sudah dibuang ke tempat sampah besar oleh Office Boy. Tempat sampah besarpun sudah dibawa oleh truk sampah, entah kemana. Sepatu Butet sebelah kanan lenyap. Ujang diam saja. Butet merepet. Mereka musuhan berminggu-minggu.

Rekan saya yang lain, orang Betawi. Badannya besar. Duduknya di pojok. Kalau dia tidak bersuara, maka tidak ada yang tau kalau dia ada di mejanya. Sebut saja Nando, namanya. Suatu sore, Nando harus lembur. Dia harus duduk di depan komputer di mejanya, karena report harus selesai besok pagi. Jam 7an malam, Satpam mulai keliling. Kontrol, sebelum mengunci pintu, mematikan lampu dan AC. Satpam tidak melihat ada Nando duduk di pojok. Nandopun tidak tau kalau Satpam sedang berkeliling. Nando mulai tersadar ketika lampu dipadamkan, AC sentralpun dimatikan. Alhasil, Nando terkurung di dalam. Tapi Nando tidak hilang akal. Dia memanjang loteng kantor, lalu merangkak di plafon. Persis seperti Tom Cruise di film Mission Impossible. Cuma, si Tom ramping langsing, sedangkan Nando beratnya 80an. Tapi Nando hebat. Dia berhasil keluar dengan selamat.

Wednesday, March 07, 2007

Musibah itu

Gempa di Sumatera Barat meluluhlantakkan banyak bangunan dan memporakporandakan banyak perkampungan. Kepanikan merajalela dimana-mana. Sesaat setelah saya mengetahui bencana itu, saya langsung menelepon ke rumah Ibu di Padang. Kakak saya, Uni Lusi, bercerita tentang hingar bingar yang terjadi saat gempa dengan nada suara yang berapi-api. Uni Lusi tidak biasa begitu. Saya semakin yakin, bahwa musibah itu termasuk kejadian LUAR BIASA.

Lalu bertanyalah tentang keadaan Mami, Ibundaku tercinta dan terkasih yang saat itu sedang berada di Payukumbuh. Mengalirlah cerita bahwa Mami sedang menuju ke Padang ketika gempa terjadi.

"Mami baik-baik saja. Tadi Mami sudah sampai Solok. Tiba-tiba sekarang gak bisa dihubungi. Padahal Solok paling parah kondisinya dan ada yang bilang jalan ke Solok putus. Uni bingung, gak tau mesti kemana menghubungi Mami."

Gak terasa, pandangan saya menjadi kabur. Buram.
Lalu, tersusunlah kata-kata :

Hari ini, gempa besar terjadi diSumatera Barat, kampung halamanku.
Gempa datang tidak sekali, tapimenguncang berulang.
Saya menelpon kakak di rumah kami di Padang.
Alhamdulillah, semua baik, aman tapi belum sepenuhnya tenang.

Cemas kami tak kunjung hilang karena gempa datang gak bilang-bilang,
terdengar nada cemas di seberang.

Terbayang Ibuku tersayang.
77 tahun di September mendatang.
Siapa yang membantu beliau lari tunggang langgang saat gempa datang?
Tangan siapa yang beliau rengkuh,ketika tubuh tak kuasa berlari kencang?
Tak terasa, air mata berlinang.

Hanya doa terucap tak terbilang untuk Ibuku tersayang.
Teman dan sahabatku
Mohon bantu doa ya, semoga Allah tidak menghempaskan amarah lagi.
Semoga tidak ada musibah lagi. Semoga aku gak perlu menangis lagi.
Teman dan sahabatku.
Terima kasih.

Note :
- diambil dr buletin board FS
- terima kasih kepada teman2 yang sudah membaca, berkomentar, berkirim message, sms ataupun telepon.
- karena permintaan teman-teman, maka tulisan di FS itu saya munculkan kembali di sini

Monday, March 05, 2007

No More Intimidation! Huahaha...
(Amin)


Sejak Jumat tanggal 1 Maret yang lalu, praktis saya tidak lagi bertemu sama supir angkot kuning yang setiap pagi saya tumpangi, mulai dari gerbang belakang kompleks rumah saya hingga ke pintu tol Karawaci. Sejak hari itu juga, saya tidak lagi dikerubuti, dipepet bahkan kesel-keselan sama tukang ojek pada saat saya pulang kantor dan turun dari bis patas AC 34 atau 138, rute Blok M - Cimone, Tangerang.

Pengamen-pengamen itu apakabar ya? Mereka masih suka nyanyi fals bin ngawur gak ya? Saya sudah tidak ketemu lagi dengan mereka, terhitung bulan 3 tahun 2007 ini. Padahal, pengamen itu sering jadi hiburan saya sepanjang perjalanan yang kadang bisa memakan waktu 1 jam 30 menit bahkan lebih. Polah tingkah mereka sempat saya tulis di blog ini. Udah pada baca khan? (ehem...)

Walau sering terhibur, tapi sejujurnya saya kadang kala juga merasa terintimidasi, terutama kalo duduk di tengah. Teman-teman yang sudah pernah bertemu saya, akan maklum kalau saya cukup tersiksa di dalam bus karena saya punya kaki panjang bak belalang. Tapi, lebih tersiksa kalau kebetulan duduk di tengah dan pengamen mengambil posisi bersandar di kursi yang saya duduki. Kalau pengamenya bernyanyi dengan baik (tidak perlu bagus kayak Rio Febrian), itu sudah cukup untuk membuat saya lupa bahwa kaki saya tersiksa karena tidak leluasa. Tapi kalau pengamennya amburadul, yo wes... ingin rasanya menutup telinga. Tapi apa daya, saya terintimidasi karena tak bisa berbuat apa-apa selain mengumpat dalam hati (gak berani hehehe)

Duduk di belakang juga bukan berarti bebas dari umpat mengumpat. Pernah ada pengamen, yang setelah selesai 'show', mereka berkumpul di belakang. Saya tetap dengan aksi wajib dalam long journey trip, yaitu tidur. Tapi, para "seniman jalanan" itu sibuk latihan, nyoba-nyoba lagu baru. Saya colek salah seorang diantara mereka. Dengan bahasa isyarat saya katakan bahwa saya mau tidur jadi tolong diam. Syukurlah, mereka patuh.

Tapi, sejak hari Jumat lalu saya terbebas dari intimidasi pengamen di dalam bus. Cuma saya menemukan beberapa kekhawatiran lain, yang bisa saja menjadi 'mengancam' perjalanan panjang saya dari rumah ke kantor dan sebaliknya.

Tapi saya lebih banyak berdoa, terkadang cuma baca Basmallah saja lebih sering dari biasanya. Semua terjadi terhitung sejak hari Jumat lalu, tanggal 1 Maret tahun 2007. Bersejarah rupanya tanggal itu.

Sejarah apa ya? Hehehe... tanpa maksud sombong, tanpa niat apapun, bahkan sebetulnya biasa saja. Saya cuma mau bersykur dan waspada saja, bahwa setelah membuat SIM A pada minggu sebelumnya, maka sejak tanggal 1 Maret kemaren saya memiliki mobil. Mobil saya sendiri. Alhamdulillah.

Mohon doanya juga dari teman-teman yang baca blog ini, semoga saya selalu dilindungi dalam perjalanan rutin hampir setiap hari. Amin

Monday, February 26, 2007

Bikin SIM

Anda punya SIM? Bikin sesuai prosedur atau nembak? Saya baru saja bikin hari Jumat yang lalu. SIM A dan nembak. Berikut ceritanya.

Jam 10 lewat sedikit saya sudah sampai di Polres dan clingak clinguk gak tau mau mulai dari mana. Sebetulnya, sejak sebelum berangkat, saya sudah berencana mau nembak saja. Mudah-mudahan tidak mahal. Tapi saya gak tau mau ketemu siapa. Dan tidak ada yang nawarin jasa. Beda banget dengan calo tiket di stasiun atau bandara.

Lalu saya beli koran dan iseng nanya sama tukang koran. Tukang koran menunjuk seorang anak muda yang ternyata adalah pegawai di loket asuransi, di dalam area pembuatan SIM itu. Oke deh, orang dalam akan bantuin saya. Lebih aman, pikir saya.

Bincang-bincang sebentar, lalu bicara harga. Cocok, 310 ribu rupiah dan saya hanya menunggu dipanggil, tanpa ada test sama sekali kecuali test tertulis. "Cuma nulis data saja, supaya nanti kalau mau perpanjang SIM akan lebih mudah," begitu kata si pemuda yang bernama Arif itu. Siip lah.... KTP saya dipinjam, lalu gak sampai 10 menit dikembalikan dan selanjutnya saya menunggu di loket untuk dipanggil.

Karena hari itu Jumat, maka jam 11 semua loket ditutup dan dibuka lagi setelah jam Jumatan, sekitar jam 1 siang. Ok, saya bisa Jumatan dulu di mesjid yang terletak di dalam Polres itu juga. Hujan besar, tetapi mesjid itu tetap ramai. Banyak anak sekolah dan tentu saja polisi-polisi yang bekerja di Polres itu. Selesai sholat Jumat, saya kembali ke loket dan nama saya dipanggil untuk mendapatkan formulir lalu dibawa ke ruang test tertulis.

Dalam ruangan test tertulis itu, saya dan sekitar 8 orang lainnya mendapat beberapa lembar kertas. Besar dan kecil. Kami dibantu untuk mengisi lembar demi lembar kertas itu. Lalu sampailah pada lembaran paling besar, yaitu lembaran test.

"Di sini Anda semua harus mengisi 30 buah soal. Anda harus menjawab benar paling tidak 18 soal. Kurang dari 18, Anda dinyatakan tidak lulus dan harus mengulang minggu depan. Kalau Minggu depan masih belum lulus, Anda harus kembali bulan depan. Kalau bulan depan masih belum lulus juga, kembali lagi 3 bulan. 3 bulan masih belum lulus, uang Anda dikembalikan," begitu kira-kira penjelas Bapak W (maaf, nama disamarkan) yang berwibawa dengan seragam polisinya itu.

Lalu beliau menjelaskan lagi, bahwa soal test terdapat lembaran soal yang dilaminting dan diperlihatkan kepada kami. Soal-soal itu berisi peraturan lalu lintas dan harus diketahui bagi siapa saja yang akan meneriuma SIM baik A maupun C.

Iseng, sambil mendengarkan wejangan dari Bapak W, saya bolak balik lembaran kertas yang saya pegang. Hah? Ibarat mendapat kado di hari valentine (halah!), saya tercengang dan tersenyum ketika melihat stempel pada lembaran paling belakang. Ada stempel yang menyatakan bahwa saya LULUS. Padahal lembar jawaban belum saya isi. Boro-boro ngisi, baca soalpun belum.

Rupanya, kekonyolan berlanjut. Lembaran soal yang dilaminating tidak dibagi. Bapak W dengan lantang menyuruh kita mengisi kolom jawaban sesuai dengan instruksi dia. Kira-kira begini : "Soal nomor satu, silang kotak paling atas. Soal nomor 2, silang kotak yang bawah. Soal nomor 3, silang atas, nomor 4 silang yang tengah, nomor 5 silang yang bawah.... dan seterusnya".

Konyolnya lagi, adalah "Soal nomor 24 sampai 30, silakan silang sendiri."

Jidat saya berkerut, alis mata bertemu di tengah, tapi bibir tersenyum geli. Dengan lincah tangan saya menyilang asal-asalan lembar jawaban itu.

Ujian (kalau boleh disebut demikian) selesai. Saya dan peserta lainnya diminta menunggu di depan ruang komputer untuk nanti dipanggil lagi, lalu difoto. Tidak sampai 10 menit, nama saya dipanggil lalu saya antri di ruang foto.

Foto selesai, termasuk juga cap jempol dan tanda tangan. Nunggu lagi, dan dipanggil lagi untuk penyerahan SIM. Selesai dan boleh pulang.

4 jam di Polres itu, dikurangi 1 jam untuk jumatan, saya hanya menemukan 4 orang yang melakukan ujian praktek. 3 orang ambil SIM C dan 1 orang ujian praktek pake mobil. Padahal, barangkali ada ratusan nama yang dipanggil untuk penyerahan SIM. Apakah nembak semua? Entah lah....

Jadi, kalau banyak pengemudi mobil yang amburadul, atau pengendara sepeda motor yang asal-asalan, ya harap maklum ya. Sabar-sabar saja.

Anda punya pengalaman lain dalam mengurus SIM? Cerita-cerita dong? :)

Monday, February 19, 2007

Rindu Serindu Rindunya

Tadi pagi, di jalan menuju ke kantor, saya membaca tulisan "salam cinta dalam angan". Entah siapa yang menulis dan entah apa maksudnya. Serba tidak jelas. Begitu rindukah si penulis kepada seseorang sehingga menitipkan salam cinta dalam angannya? Tapi, rindu itu apa sih?

Saya pernah, bahkan sering merasakan rindu terhadap seseorang. Pastinya orang-orang yang saya cintai. Bisa jadi Ibu saya, Ayah saya, kakak-kakak, adik, keponakan dan tentu saja kekasih hati saya.

Jika rindu itu tiba dan hinggap di hati, tentu ada upaya untuk melenyapkannya. Rindu harus dilenyapkan, diobati, dihilangkan, karena rindu itu merusak. Konon begitu. Upayanya antara lain telepon, kirim sms, kirim email, atau surat. Kadang tidak tuntas, tidak berhasil hilang dari hati. Rindu sering menempel kuat, layaknya power glue. Lengket dan bikin risih, menganggu. Kok bisa begitu ya?

Lalu saya berpikir, siapa yang saat ini saya rindukan dan belum bisa hilang dan lepas dari hati ini? Terlintas adalah adik Ibu saya yang terkecil, yang biasa saya sapa dengan Ndetek Eli. Ndetek adalah singkatan Mande Ketek, berasal dari bahasa Minangkabau yang artinya Tante Kecil atau Bu Lik dalam bahasa Jawa.

Saya terlahir dari Ayah dan Ibu yang bekerja, sehingga waktu kecil, Ndetek Eli inilah yang mengasuh, menjaga, mendampingi saya. Tentunya banyak sekali cerita dan jasa beliau dalam pembentukan karakter dan kepribadian saya. Mungkin, hobby menyanyi juga menular dari beliau yang senang bersenandung sambil memasak, menyuapkan kami (saya, adik saya dan anak beliau sendiri) atau kegiatan lainnya.

Kalau memang rindu, kenapa tidak datang saja bertemu beliau yang saat ini tinggal di Bekasi? Gak jauh khan? Telepon juga bisa. Sms juga gak susah khan?

Baru saya menyadari, rindu itu bukanlah sekedar perasaan ingin bertemu. Rindu itu adalah perasaan ingin menunjukkan rasa cinta. Jika tidak ada cinta, rindu juga tidak akan ada.

Ya... ya... ya....
Jaman muda dulu, ketika masih cinta-cintaan monyet (catt: sama orang lho, bukan sama monyet) saya dan cintaan saya sering mengumbar kata rindu atau kangen. Padahal beberapa jam sebelumnya juga ketemu. Tapi sekarang, karena sudah tidak cinta lagi, walau udah gak bertemu bertahun-tahun, saya gak kangen tuh. Gak ada rindu lagi buat dia, karena memang gak cinta lagi.

Ya... ya... ya....
Obat rindu bukanlah sekedar bertemu. Rindu akan terobati apabila kita bisa membuktikan dan menyakinkan seseorang bahwa kita mencintai dia.

Wednesday, February 14, 2007

Ngantuk

Hari ini ngantuuukkkk.... banget. Emang sih, kerjaan di kantor lagi rada slow. Tapi bukan berarti boleh tidur di jam kantor khan? Jam 3an tadi sempat sekejap lessss.... lalu buru-buru ambil wudhu menjelang sholat Ashar. Ternyata air sejuk nan suci itu masih belum bisa menghilangkan kantuk. Duh.... Kebetulan, hari ini saya kurang sehat dan saat makan siang tadi sempat kena hujan dikit.

Yen tak pikir-pikir, saya memang sulit menahan kantuk. Dulu, ketika masih SMA dan kuliah, sering kali kumpul dan begadang sama teman-teman di rumah salah seorang rekan. Kadang-kadang camping atau saat mempersiapkan suatu acara.Teman-teman pada begadang atau lek-lek an (istilah orang Semarang), ditemani rokok, kopi, kacang atau camilan lainnya. Saya memilih tidur. Lebih enak :)
Dibanding keluyuran, saya memilih untuk tetap tinggal di rumah. Sampai sekarang pun, kalau di rumah saya memilih tidur sampai capek hehehe.... Karena kebiasaan tidur inilah, ayah saya pernah bilang bahwa badan saya yang tinggi panjang ini meniru badan ular, yang sama-sama suka tidur lama.

Waktu baru-baru tinggal di Jakarta, saya sangat khawatir tertidur di atas kendaraan umum. Takut kebablasan sehingga tempat berhenti jadi kelewatan dan takut terjadi apa-apa pada saat tidur, misalnya copet. Tapi, semakin sering naik kendaraan umum, saya jadi terbiasa tidur sambil duduk. Bahkan, akhir-akhir ini, saya bisa tidur 10 menit setelah dapat tempat duduk. Kadang bis belum jalan pun, saya udah tertidur. Parah!
Sebenarnya, saya mau cerita lebih panjang lagi. Tapi ngantuk nggak ilang-ilang... Aku tak tidur dulu ya. ZzZZzzzz.....ZzzzZzzzZZZzzzz........


Monday, January 29, 2007

Polisi Jadi Mainan, Polisi Juga Suka Main-main.


Paling males kalo tiba-tiba diberhentikan polisi di jalan. Seringnya nyari-nyari kesalahan. Giliran emang lagi salah beneran, di kepala yang ada adalah gimana caranya supaya bisa "damai".... Iya gak? Jadi jangan heran kalau rekan-rekan dari advertising agency sekarang lagi demen ngerjain polisi. Polisi dijadiin mainan yang bisa bikin ketawa. Liat aja iklan rokok yang "Taat kalau ada yang liat" sama " Hati-hati, ada polisi (lagi) tidur".

Waktu masih kuliah dulu di Semarang, saya distop polisi dengan alasan melanggar lampu merah. Padahal lampu masih belum merah, masih kuning. SIM C saya ditahan dan disuruh ambil di kantor polisi yang dekat pasar peterongan. Sore harinya, saya hanya bertemu dengan beberapa polisi wanita (Polwan). Cantik sih, wanita asli..... tapi tetap polisi. Ciut nyali saya. Mungkin karena mereka juga sudah lelah seharian, para Polwan itu gak sangar. Malah ngajak saya bercanda. Ujung-ujungnya saya terintimidasi. Dilecehkan. Mereka mencubit saya, lengan dan pipi. Aduh......

Lain cerita teman saya. Entah kasusnya apa, yang pasti dia disuruh nyanyi di kantor polisi.

Beda lagi dengan teman kantor saya yang lama. Namanya Alex. Setiap hari naik motor dan sering pulang malam ke rumahnya di daerah Pamulang. Suatu malam, ada razia. Semua sepeda motor disuruh berhenti, termasuk Alex. SIM, STNK, helm, lampu, spion, semuanya aman. Beres dong, harusnya. Eh, polisi nyuruh Alex buka tas. Ada kepingan cakram padat, alias VCD. Sebetulya itu Blue Film, tapi Alex ngeles. Dia bilang isinya lagu-lagu karena dia anak band. Bodohnya, polisi percaya aja. Dalam tas Alex juga ditemukan obat. Polisi membentak "Kamu pemakai ya?". Alex tertawa dalam hati, itu khan Enervon C yang dikeluarin dari botol karena botolnya khan lumayan berat.
Polisi yang menggeledah Alex gak berhenti. Tas pinggang Alex juga dibongkar. Ditemukan sekotak kartu remi. "Kamu main judi?" polisi nanya lagi seraya nakut-nakutin. Alex jujur bilang bahwa dia adalah magician alias pemain sulap dan kartu adalah salah satu alatnya.
"Emang kamu bisa?" Polisi masih nada sok galak.
"Bisa pak. Kalau boleh, saya praktekin sekarang," lanjut Alex.
Alex memainkan trik pertama. Lancar. Polisinya senang.
Alex memainkan trik kedua. Sukses. Polisinya gembira.
Alex memainkan trik selanjutnya. Hebat. Polisi mulai memanggil teman-temannya.
"Woi... ada yang jago main sulap nih."
Alex memainkan trik demi trik. Razia di daerah Pamulang itu berhenti. Selesai. Motor-motor tak lagi diberhentikan.

Sekarang Alex bersahabat dengan polisi-polisi itu. Tanpa helm pun, Alex dapat berkendaraan dengan aman. Alex janji mau memperkenalkan kami kepada polis itu. Siapa tau, kami juga bisa aman di jalan hehehe....


Si Cantik Yang Membunuh !

Kompas hari ini mengatakan bahwa Demam Berdarah Dengue (DBD) sudah menelan korban 1752 jiwa. 8 orang diantaranya tidak terselamatkan.

Tadi pagi di FeMale Radio menyiarkan berita bahwa rumah sakit mulai kewalahan menerima pasien DBD.

Detikcom siang ini memberitakan bahwa RSUD tidak boleh menolak pasien demam berdarah.

Dalam hati saya berdoa, semoga saya, keluarga, sanak famili dan semua rekan-rekan pembaca blog ini dijauhkan dari bahaya demam berdarah. Amin.

Kalau rumah kita bisa kita bersihkan, mari kita bersihkan lingkungan kita juga. Tanah kosong sebelah rumah, lahan tak terpelihara di belakang rumah juga bisa menjadi sarang nyamuk aedes aegypti ini. Jadi, gak cukup cuma rumah kita saja yang kita bersihkan. Ajak tetangga atau siapa saja yang memungkinkan untuk memeriksa lahan tak bertuan di sekitar rumah.

Semoga Allah SWT melindungi kita semua. Amin

Sunday, January 21, 2007

Olahraga Bareng Andy Roddick & Mario Ancic



Weekend kemaren saya sempatkan lagi berolahraga di Fitness First Plasa Semanggi, setelah hampir 15 hari tidak sempat berolahraga. Biasanya, treadmill menjadi pilihan pertama saya untuk pemanasan dan melatih cardio. Paling lama 30 menit dengan pembakaran kalori sebanyak 350 kcal, lebih kurang.

Tapi weekend kemaren, sangat istimewa. Sambil menyaksikan babak ke 4 Australian Open, antara unggulan ke 9, Mario Ancic, melawan unggulan ke 6, Andy Roddick, tanpa terasa saya melakukan treadmill selama 1 jam 30 menit. Pembakaran kalori sebanyak 700 kcal, dan jarak sudah 7,46 km. Kaki sudah mulai pegel, saya juga sudah mulai bosan berjalan kaki, tapi pertandingan Andy Roddick vs Mario Ancic masih belum selesai. Saya memutuskan pindah ke latihan ke sepeda statis. Di sana saya menyaksikan pertandingan set ke 5 yang sangat menentukan siapa yang berhak melaju ke babak semifinal. Lebih kurang 40-an menit bermain sepeda, saya membakar kalori tambahan lagi sebanyak 250 kcal. Jarak tempuh waktu main sepeda mencapai 7 km lebih dikit. Wah, saya memecahkan rekor saya sendiri dengan berolahraga paling lama, jarak paling jauh dan pembakaran kalori paling banyak. Terima kasih untuk 2 bintang tenis Andy Roddick dan Mario Ancic hehehe...

Masa kecil saya termasuk jarang berolahraga. Waktu SD hanya Senam Kesegaran Jasmiani (SKJ) saja, seperti umumnya sekolah-sekolah di jaman itu. Sesekali main pingpong dan sepatu roda dengan teman-teman tetangga. SMP saya sering main volley di tanah kosong sebelah rumah. SMA dan kuliah termasuk aktif menjadi team basket dan sering melakukan pertandingan ke luar kota.

Setelah bekerja, saya mulai beralih ke tenis. Alasannya sederhana saja. Kalau basket harus rame-rame mainnya. Tenis cukup ber 2 saja. Kalau gak ada teman, toh ball boy juga bisa dijadikan partner. Alasan selanjutnya adalah faktor U alias Uban.. eh umur :) Maksudnya begini, bahwa banyak orang yang masih bermain tenis di usia 50an.

Saya sempat bermain tenis di lapangan Hotel Indonesia, cukup rutin, bersama Iwan, Rio dan Pram. Gak sekedar bermain, kami bahkan sampai pakai pelatih. Tapi sayangnya, tidak berapa lama lapangan di HI itu dibongkar dan kami juga mulai jarang berlatih.

Lalu saya mulai ikutan fitness. Sudah cukup lama sebenarnya. Banyak teman-teman yang berkomentar,"Wah, udah six packs dong?" atau "Kok gak berubah badannya?" atau kementar-komentar lainnya. Bagi saya, berolahraga bukanlah untuk membentuk tubuh agar indah sempurna seperti seorang model atau binaraga, barangkali. Berolahraga, apapun itu, adalah kegiatan untuk tetap bugar dan sehat. Jika kemudian ototnya terbentuk, perutnya rata, dan sebagainya, itu adalah bonus karena rajin berlatih. Jadi, olahraga itu wajib. Kudu. Harus.