Thursday, November 09, 2006

Susahnya Memulai Bisnis di Indonesia
(Hasil temuan di warnet hehehe....)

Akhir-akhir ini saya sering berpikir untuk melakukan suatu bisnis yang mampu mendatangkan tambahan penghasilan sekaligus menjadi 'ladang' di hari tua kelak. Macam-macam bisnis sering terlintas di kepala. Mulai dari punya Event Organizer atau Wedding Organizer sendiri, punya Souvenir Shop di kampung halaman, Barber Shop atau punya Coffee Shop, Indomart atau Alfamart (waralaba gitu deh) dan lain-lain. Pikiran semacam itu tidak pernah saya patahkan. Malah terus saya pelihara walaupun tidak atau belum pernah berusaha serius untuk memulainya.



Tanpa sengaja, beberapa waktu lalu, saya menemukan sebuah tulisan dari seseorang yang masih tertinggal di komputer yang akan saya gunakan, di sebuah warnet. Artikel itu menarik sekali. Judulnya "Memulai Usaha di Indonesia". Saya baca artikel itu dan saya kaget dengan tulisan yang saya baca. Ternyata ada 12 tahap yang harus dilalui agar sebuah bisnis bisa terdaftar dan bisa diakui secara legal.

"... diantaranya mendaftarkan perusahaan ke Departemen Kehakiman, mendaftarkan domisili perusahaan ke Kelurahan, mengurus Nomor Pokok Wajib pajak (NPWP), mengurus Tanda Daftar Perusahaan (TDP) serta Surat Ijin Mendirikan Usaha (SIUP) di Dinas Perdagangan. Prosedur yang dilakukan di Departemen Kehakiman dilakukan oleh Notaris. Sedangkan untuk mendapatkan NPWP, TDP dan SIUP dapat dilakukan oleh pengusaha sendiri atau menggunakan biro jasa." Begitu kutipan tulisan yang saya baca tanpa sengaja itu.

Lalu saya menemukan tabel yang membuat saya bertambah kaget. Tabel itu menggambarkan waktu yang diperlukan jika seseorang ingin memulai sebuah bisnis di berbagai negara. Di Australia hanya dibutuhkan waktu 2 hari saja. Ibaratnya, hari Senin mulai di urus, Rabu udah bisa jalan tuh bisnis. Hm..... cepet banget ya. Lebih cepet daripada nyuciin baju di laundry!. Menyenangkan sekali. Kalau di negara tetangga kita Singapura, butuh waktu 6 hari. Malaysia? 22 hari alias 3 minggu lebih dikit. Kira-kira sama dengan waktu untuk ngejahitin baju di tukang jahit hehehhe. Negara tetangga yang baru berdiri, yang infra strukturnya banyak dibuat oleh orang Indonesia, alias negara Timor Leste, membutuhkan waktu 98 hari untuk memulai sebuah usaha.

Lalu Indonesia, berapa lama ya? Ok.... sit down please, relax and read carefully.

Untuk melaku
kan 12 tahap prosedur yang teklah dijelaskan di atas tadi, menurut penelitian yang dilakukan oleh Worl Bank, adalah....... Seratus Lima Puluh Satu alias 151 hari (waktu kalender).



Data selengkapnya begini :

Australia 2 hari
Singapura 6 hari

Hongkong 11 hari

Malaysia 22 hari
Korea 30 hari
Thailand 33 hari
Philipina 48 hari
China 48 hari
Taiwan 48 hari
Vietnam 50 hari
Kamboja 92 hari
Timor Leste 98 hari
Indonesia 151 hari
Laos 192 hari

Tapi, masih menurut tulisan tak sengaja terbaca dan menggugah itu, LPEM UI memiliki temuan penelitian yang berbeda dengan World Bank. Menurut LPEM UI, waktu yang diperlukan untuk untuk memperoleh ijin usaha di Indonesia adalah 80 hari kalender atau 57 hari kerja. Kalaupun survey LPEM UI ini benar, tetap saja masih lebih lama dibanding di negara ASEAN lain.
Australia memang paling TOP lah, 2 hari saja. Hebat.

Sekalipun temuan itu mengernyitkan dahi cukup lama, dan membuat kerut-kerut di jidat semakin bertambah tegas, tapi niat saya tidak akan surut untuk melakukan bisnis untuk menambah pendapatan. Bukankah sudah tidak musim ketika seseorang masih menganut paham Single Income? Hayo, berbisnis....

Sunday, November 05, 2006

Aku Orang Jawa

Mudik lebaran ke kampung halaman di Padang (Sumatera Barat), kami sekeluarga singgah ke rumah Padang Panjang, tempat ayah saya dibesarkan. Rumah tua itu masih seperti dulu. Asri dan tinggi. Setelah bersilaturahmi dengan Tante Ida dan Uni Eka yang saat ini tinggal di sana, kami pamit untuk meneruskan perjalanan menuju Bukittinggi. Seperti biasa, saya senang berkeliling di rumah tua itu, seperti napak tilas bekas telapak kaki ayah saya di jaman beliau muda dulu. Masuk sampai ke belakang, dapur dan kamar depan yang kebetulan pintunya terbuka. Sebuah foto tua tergantung di kamar depan. Rupanya itu foto kakek ayah saya. Uni Eka bilang, "Itu Raden Wardiman, kakek buyut kita. Kita khan ada keturunan Jawa. Dari Keraton Jogja lho."

Lalu Uni Eka bercerita dengan serius, dan sejenak kami menunda keberangkatan kami. Inti ceritanya begini :

Ketika Perang Diponegoro bergejolak, banyak sekali pejuang-pejuang tanah jawa yang dibuang ke pantai barat Sumatera. Konon diantaranya adalah Sentot Alibasah Prawirodirjo. Nah, beliau ditugaskan di daerah Padang Panjang untuk membangun jalur kereta api. Sentot ini menikah dengan wanita setempat, yang kemudian melahirkan Ibu dari Ayahku, yaitu Nenekku yang bernama Sawiyah.

"Jadi, kalau kita ke Jawa, kita dianggap anak raja lho. Mereka akan jalan duduk dan sungkem sama kita," lanjut Uni Eka berapi-api.

"Oooo....," cuma itu yang keluar dari mulut kami. Seperti paduan suara.
"Iya. Kita juga masih bersaudara sama Umar Khayam," si Uni masih bersemangat bercerita.

"Kok bisa? Ceritanya bagaimana?"
"Keluarga Sentot khan tidak semuanya dibuang ke Sumatera. Ada juga yang tinggal di jawa. Nah, yang tinggal itu adalah kerabatnya Umar Khayam."
"Wah, kita keluarga hebat ya."
"Ada lagi. Gak cuma itu. Christine Hakim tau khan?" "Yang tukang keriupik balado?"
"Yeee..... bukan. Yang bintang film."
"Masih famili juga?"
"Iya. Para pejuang perang itu ada juga yang dibuang ke Bengkulu. Nah, mereka itulah yang menjadi keluarga Christine Hakim."
"Oooo....," paduan suara lagi.

"Uni Eka tau dari mana?" terdengar sebuah pertanyaan. Saya lupa dari siapa, karena rombongan kami begitu banyak. 33 orang ada di rumah Uni Eka waktu itu.
"Ada kok silsilahnya. Uni Eka pernah lihat waktu Uni tinggal di Jakarta dulu. Tapi sekarang Uni lupa, siapa yang nyimpan."
"Oooo...," paduan suara lagi, tapi sumbang.

Ya ya ya.... Saya orang Jawa. Bisa jadi Presiden

Thursday, November 02, 2006

Mesjid Pak Mentri.

Banyak orang Padang (Baca : Orang Sumatera Barat atau Orang Minangkabau) yang menjadi Mentri atau pernah menjadi Mentri di tanah air. Sebut saja Emil Salim, lalu Harun Zain, kemudian diteruskan pula oleh Azwar Anas, Hasan Basri Durin, selanjutnya Tarmidzi Taher dan sekarang ada Bachtiar Chamsyah.

Saya masih teringat, ketika Harun Zain yang berasal dari Pariaman menjadi Mentri, maka kampung halaman beliau menjadi berubah. Jika dulu orang ke Pantai Pariaman hanya untuk buang hajat besar, maka ketika Harun Zain jadi Mentri, Pantai Pariaman berubah menjadi salah satu objek wisata di Sumatera Barat.



Cerita yang sama juga terjadi ketika Azwar Anas dan Hasan Basri Durin duduk di kabinet. Generasi Mentri selanjutnya adalah Tarmidzi Taher. Menjadi hal yang lumrah ketika menjadi Menteri maka kampung halamannya juga berubah, menjadi lebih baik.

Ada sebuah mesjid yang dibangun oleh Tarmidzi Taher di kampungnya, Padang Panjang. Sebuah mesjid yang indah dan ramai dikunjungi, terletak di pinggir jalan raya antar kota. Saya sempat mampir dan sholat maghrib di mesjid ini. Sayang sekali, airnya irit (kecil, hampir menetes) dan WC nya jorok. Mungkin pengurus mesjidnya tidak siap ketika lebaran banyak yang numpang sholat di sana.



Sebuah mesjid indah juga dibangun oleh Bachtiar Chamsyah, yang saat ini masih menjabat sebagai Mentri Sosial. Mesjid itu dibangun di tepi danau Maninjau, di desa bernama Bayur (baca: Bayua). Ketika berkunjung ke Maninjau, direncanakan saya sholat Jumat di sana. Tetapi, karena rombongan kami terpisah dan cari-carian, alhasil saya hanya sekelebat lewat di mesjid yang indah itu. Indah betul, megah. Ditambah dengan lingkungannya yang masih alami serta danau Maninjau yang terhampar di seberangnya.



Mesjid, mushola atau surau di Sumatera Barat banyak sekali jumlahnya. Saya pernah mendengar bahwa propinsi itu dijuluki Negeri 1000 Mesjid. Jika dari Bukittinggi menuju Padang Panjang, puluhan tempat ibadah sangat mudah ditemukan di kiri kanan jalan, yang berjarak kira-kira 30 KM itu. Menuju ke Maninjau, juga begitu banyak mesjid, mushola atau surau dengan berbagai macam arsitektur, terutama di desa Koto Baru, yang konon dibangun oleh saudagar pedagang emas di wilayah Melawai, Jakarta Selatan dan sekitarnya.

Terbersit pikiran dalam hati, apakah tempat ibadah itu juga ramai pada hari-hari biasa? Jika Saat Hari Raya banyak yang pulang kampung, lalu mereka berkegiatan di Mesjid, Mushola atau Surau, bagaimana dengan di hari biasa? Siapa yang meramaikan Rumah Allah itu?

Membangun rumah ibadah tentu saja cara cespleng untuk mengumpulkan poin agar dapat tiket masuk surga. Tapi kalau kemudian bagunan indah itu ditinggal kosong? Tentuny gak mudah mendapatkan tiket itu. Seandainya nih... seandainya saja saya jadi mentri atau punya uang lebih. Apakah saya akan bangun mesjid juga? Jadi, saya berpikir mungkin akan membiayai anak-anak sekolah anak-anak saja. Biar mereka pintar, mandiri dan memiliki masa depan yang lebih baik. Kemudian, mereka diajak untuk meramaikan mesjid yang ada. Bisa khan? Insya Allah......