Wednesday, June 27, 2007

Hati-hati vs Wajah-wajah

Keponakan saya, Puti, bercerita tentang seorang Ibu yang kebetulan duduk di sebelahnya dalam suatu perjalanan dari Karawaci menuju Blok M, naik bis umum. Suatu ketika, si Ibu bertanya,"Kamu orang Batak ya?" Puti kaget, karena itulah kali pertama dia diduga sebagai orang Batak.

"Kenapa Ibu bertanya begitu? Saya bukan orang Batak," Puti balik bertanya.
"Atau orang Arab ya?" si Ibu masih tebak-tebak buah manggis.
Puti cuma tersenyum. Sekali lagi, baru pertama kalinya dia diduga orang Arab.

Tadi pagi Puti bertanya, sebetulnya wajahnya mirip orang mana atau orang apa?
"Saudara ayah pernah bilang Puti mirip bule. Tapi di kampus, temen-temen Puti bilang muka Puti Padang banget," cerocos mahasiswi UI ini.

Saya hanya tersenyum. Bagi saya, gak ada artinya wajah seseorang itu mirip dengan suku atau ras apa. Kita memang sering 'termakan' pameo-pameo atau stereotype yang salah kaprah. Orang Batak begini begitu, orang Padang begana begini, orang Jawa gini gitu..... Makanya, kita jadi sering merasa kurang nyaman kalau suatu saat ditebak dan salah.

Suatu hari, ketika masih kuliah, mirip seperti yang dialami Puti. Saya juga diajak bicara dalam sebuah kendaraan umum oleh seorang pria yang umurnya 10- 15 tahun di atas saya. Ketika melewati sebuah sekolah, saya dan pria itu melihat para pelajar itu keluar dari sekolah mereka karena memang jam bubaran sekolah. Macam-macam tingkah polah mereka. Suara mereka juga terdengar nyaring, riang, menjerit dan sedikit keterlaluan serta menganggu, menurut saya. Ternyata si Mas di sebelah saya juga merasa begitu. Lalu meluncurlah kalimat-kalimat omelan yang bersangkut paut dengan ras, suku serta keturunan, karena ternyata dia tidak senang dengan sikap para pelajar yang sebagian besar keturunan Cina. Jelas terlihat dari mata sipit mereka.

Merasa tidak senang dengan kalimat-kalimat si Mas itu, saya cuma berkomentar singkat. "Gak semua yang mas bilang itu benar. Ibu saya keturunan Cina kok," ujar saya santai.

Si Mas itu mendadak gagu. Matanya terbelalak, lehernya kaku, bibirnya kelu, lidahnya beku. Rahangnya terkatup rapat, seperti sedang terhukum dengan todongan bayonet di ubun-ubunnya.

Sebenarnya saya merasa kasihan padanya karena telah berbohong. Tapi tidak apalah kalau kala itu saya justru tertawa dalam hati. Pelajaran itu tidak selamanya dari buku. Ilmu itu tidak selamanya dari guru. Isi kepala kita bisa bertambah dari hal-hal yang kita alami, bisa pahit bisa manis. Harapan saya, si Mas itu bisa sedikit belajar agar tidak terlalu meng-generalisir hal-hal negatif tentang suatu suku atau ras. Pandanglah seseorang itu sebagaimana pribadinya, bukan dari sukunya.

Setuju? :)

No comments: